BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Komunitas Adat Serukan Dialog sebagai Kunci Hidup Bersama

Bangun Harmoni Budaya
Komunitas Adat Serukan Dialog sebagai Kunci Hidup Bersama
10 Agustus 2015

SEMARANG, KOMPAS — Sejumlah komunitas adat di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menyerukan harmoni dalam keragaman budaya di Indonesia. Setiap daerah, suku, dan komunitas memiliki budaya khas, yang tak perlu dipertentangkan, tetapi berdampingan secara damai.

Seruan tersebut mengemuka dalam Sarasehan Komunitas Adat, sebagai rangkaian Pekan Budaya Indonesia 2015 di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (8/8). Ada tujuh komunitas adat yang hadir, yaitu Komunitas Kampung Pitu Yogyakarta, Adipala Banyumas, Jalawastu Brebes, Pakualaman Yogyakarta, Kotagede Yogyakarta, Samin Blora, dan Tionghoa Semarang.

Seruan itu tidak disampaikan melalui harapan-harapan yang dituturkan secara cair. Ketua Komunitas Sedulur Sikep (Samin) Pramugi Prawiro Wijono mengatakan, komunitasnya menolak segala bentuk kekerasan dalam menyikapi perbedaan. "Modal kehidupan itu rukun. Kalau (ada) yang berbeda, selesaikan dengan dialog," katanya.

Komunitas Samin di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Ke?camatan Sambong, Kabupaten Blora, berharap komunitasnya bisa bertahan di tengah gempuran perubahan zaman. Meski memiliki pandangan dan laku hidup yang berbeda dari masyarakat di sekelilingnya, komunitas ini tak ingin hidup eksklusif. Namun, mereka pun tidak ingin diseragamkan.

"Misalnya soal pendidikan, khususnya pendidikan agama. Kalau bersekolah di sekolah umum, kan pendidikan agama telah ?ditetapkan. Padahal, kami tidak menganut. Ini bagaimana?" kata Pramugi mengelaborasi di sela-sela sarasehan.

Komunitas Kampung Pitu Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta, pun berharap hal sama. Meski kehidupan masyarakat seperti terpisah dengan warga lain, komunitas Kampung Pitu tetap berbaur. Sumber mata air di Kampung Pitu boleh dipergunakan oleh warga sekitar, tetapi terlebih dulu mereka harus membersihkan sesajen yang dimasukkan warga Kampung Pitu ke dalam sumur.

Berlandaskan kepercayaan

Menurut Heru Purwanto, peneliti Kampung Pitu, dari kepercayaan turun-temurun diyakini, Kampung Pitu hanya bisa dihuni tujuh keluarga. Jika lebih, warga akan hidup tidak tenang, bahkan sakit. Maka, kemudian selalu ada yang berinisiatif untuk keluar dari kampung ini hingga hanya tujuh keluarga yang tinggal. "Memang terasa tidak masuk akal, tetapi itu yang dipercayai," katanya.

Komunitas lain pun serupa. Penasihat Komunitas Pecinan Semarang yang juga pemrakarsa acara Semawis, Sunarto, ?memaparkan pembauran yang menarik antara kuliner Tionghoa dan Jawa. Harmoni itu ada di meja makan. Ada rupa-rupa makanan untuk sesaji dalam budaya Tionghoa yang sampai sekarang masih dipraktikkan.

Menjaring masukan

Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Sri Hartini mengatakan, sarasehan untuk menjaring masukan dari komunitas-komunitas adat demi memperbaiki pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Solusi pemerintah akan dipadukan dengan peran dan gagasan dari komunitas.

"Acara seperti ini untuk memancing peran pemerintah daerah agar menindaklanjuti masukan dari komunitas adat di daerah ?itu. Negara kan dituntut harus hadir," tuturnya. (IVV)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/10/Bangun-Harmoni-Budaya

Related-Area: