BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Hipolitus Mawar Sekolah Demokrasi

Hipolitus Mawar
Sekolah Demokrasi

Oleh: KORNELIS KEWA AMA 

Tidak semua orang yang terlibat di partai politik, birokrasi, dan dunia pendidikan paham mengenai tata cara berdemokrasi yang benar. Demokrasi butuh etika, seni, dan aturan sehingga tidak membingungkan masyarakat atau lawan politik. Itulah yang mendorong Hipolitus Mawar (43) membangun Sekolah Demokrasi.

Sekolah ini dibangun Hipolitus Mawar sejak 2006. Persekolahan ini berlangsung selama satu tahun. Namun, bekal yang diberikan sekolah ini mampu menumbuhkan pencerahan tentang bagaimana ideal-
nya berdemokrasi bagi ratusan politisi dan akademisi di Nusa Tenggara Timur yang menjadi pesertanya.

Sekolah Demokrasi berada di bawah Lembaga Advokasi dan Penelitian Timoris (Lap Timoris) yang didirikan Mawar tahun 2006. Sekolah ini didirikan atas dasar keprihatinan Mawar terhadap rendahnya pemahaman masyarakat tentang demokrasi di daerah itu. Akibatnya, ia sering kali melihat masyarakat mudah diarahkan elite dan birokrat sehingga tidak punya pilihan dan keputusan sendiri pada setiap penyelenggaraan pesta demokrasi.

Namun, belakangan, sekolah ini tidak hanya diminati lulusan sekolah menengah di NTT, tetapi juga kaum akademisi dan lulusan perguruan tinggi. Mereka tertarik dengan materi yang diajarkan narasumber serta tata cara berdiskusi untuk mendapatkan pengetahuan dan ketajaman menganalisis persoalan sekitar demokrasi.

Ketika ditemui di Labuan Bajo, pertengahan Oktober lalu, Hipolitus Mawar mengatakan, Sekolah Demokrasi itu dikembangkan di Lewoleba, Lembata. Sejak 2006 sampai 2010 sudah menghasilkan empat angkatan dengan jumlah lulusan sekitar 300 orang. Sekolah Demokrasi ini kemudian dilanjutkan lagi pada periode 2010 sampai 2012, di Atambua, Belu. Pada periode yang kedua ini, dihasilkan dua angkatan lulusan dengan peserta sekitar 200 orang.

Tahun 2012 sampai sekarang, Sekolah Demokrasi dibangun di Labuan Bajo, Manggarai Barat, dengan jumlah lulusan sekitar 150 orang. Menurut rencana, tahun 2015 Sekolah Demokrasi dibangun di Waingapu, Sumba Timur.

”Lulusan yang dihasilkan sebagian besar terlibat langsung sebagai pengurus partai politik. Sebagian ada yang menjadi anggota KPUD, panwas, DPRD, akademisi, dan birokrat. Mereka mendapat bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari pendidikan ini. Meski hanya berlangsung satu tahun, mereka benar-benar merasa puas dan terbantu dengan proses pendidikan ini,” kata Mawar.
Modul

Kebanyakan peserta Sekolah Demokrasi adalah lulusan sekolah menengah. Sebagian kecil lainnya merupakan peserta dengan latar belakang perguruan tinggi. Begitu lulus, mereka langsung bergabung dengan partai politik. Ini merupakan langkah awal untuk meniti karier di bidang politik.

Materi yang diajarkan di dalam kelas Sekolah Demokrasi tentu berkaitan dengan demokrasi. Ada 10 modul tentang demokrasi, yakni modul sejarah pemikiran demokrasi, konsepsi demokrasi, kebijakan publik, hak asasi manusia, gerakan sosial, legislatif, drafting, budgeting, keterampilan kepemimpinan, dan jurnalistik.

Penamaannya memang Sekolah Demokrasi. Namun, menurut Mawar, sebetulnya kegiatan ini seperti kursus setahun tentang demokrasi. Untuk mengikuti Sekolah Demokrasi, peserta tidak perlu membayar. Pasalnya, Lap Timoris yang menjadi penyelenggaranya mendapat sponsor rutin dari Netherlands Institute Multyparty melalui Komunitas Indonesia untuk Demokrasi Jakarta.

Peserta juga mendapat 10 modul gratis, seragam, jas almamater, dan alat tulis. Namun, peserta harus tinggal di asrama yang dikelola Mawar.

Kegiatan pendidikan berlangsung pukul 08.00 hingga pukul 17.00 setiap hari. Pada malam hari, dilanjutkan dengan seminar, diskusi, dan melakukan talkshow di radio setempat.

Lulusan juga mendapat semacam ijazah sebagai tanda lulus Sekolah Demokrasi. Ijazah inilah yang biasanya dijadikan bekal bagi mereka untuk bergabung ke partai politik, bahkan saat mereka mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPRD, KPUD, panwas, dan kepala daerah.

”Mereka dibekali dengan pengetahuan di bidang demokrasi yang cukup lengkap. Mereka setiap hari terbiasa membahas dan berdiskusi tentang masalah demokrasi dengan mengambil contoh-contoh konkret di masyarakat. Temanya seperti politik uang, kebijakan parpol, kader parpol dan kinerjanya, dan seterusnya,” kata Mawar.

Tidak hanya itu, mereka juga diajarkan memiliki kemampuan mengatasi persoalan dengan akal sehat ketimbang emosi. Jika emosi lebih mendominasi perilaku, keputusan tidak boleh diambil saat itu.

”Sebuah keputusan yang populis pun butuh waktu yang tepat,” ujar Mawar.

Pengajar yang terlibat adalah cendekiawan, politisi, serta akademisi ternama di Jakarta dan di NTT. Mereka hadir di sana selama 5-7 hari untuk memberikan materi sebagai fasilitator.

Pendidikan yang diselenggarakan mirip perkuliahan, dan dilakukan di kelas. Namun, ada kegiatan di luar kelas, yakni diskusi dan seminar, talkshow di radio, bedah masalah demokrasi, dan melakukan kunjungan selama dua hari di kampung terpencil.

Di kampung itu, peserta akan belajar dan menggali nilai-nilai demokrasi lokal melalui pertemuan dengan ketua adat, aparat desa, dan tokoh masyarakat setempat. Mereka harus mendengar dan mengikuti gaya berpikir masyarakat sekitar mengenai demokrasi, pemerintahan, dan pembangunan.

Peserta dinyatakan lulus setelah mengikuti kegiatan selama satu tahun penuh.

Meski fokusnya soal demokrasi, peserta juga diajarkan cara berwirausaha yang efisien dan efektif dengan kekuatan sumber daya alam yang ada di daerah. Apalagi, jumlah pengangguran di NTT terhitung cukup tinggi. Tidak heran jika warga setempat amat menggantungkan diri pada peluang pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil atau menjadi politisi.

”Di masyarakat, politik uang sering mencederai demokrasi. Itu sebabnya, setiap lulusan dari Sekolah Demokrasi memiliki misi khusus untuk memberi pemahaman kepada masyarakat agar tidak menerima uang sogok dan sejenisnya. Nilai Rp 50.000 atau Rp 100.000 yang diterima masyarakat dampaknya bisa sangat buruk bagi keberlangsungan demokrasi di daerah itu,” kata Mawar.

Kemandirian secara ekonomi ini, menurut Mawar, dapat menjadi kunci dari keberhasilan dalam demokrasi. Jika politisi tidak mandiri secara ekonomi, bisa saja mereka akan mudah tergoda dengan uang yang tidak legal.

Hipolitus Mawar
Lahir: Kenotan Lite, Adonara, 12 Agustus 1971

Pendidikan Terakhir: FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang

Istri: Beatriks Maria Ilasu

Anak: Aloysius Ama Suban (14) dan Martha Tuto (6)

Jabatan: - Direktur Sekolah Demokrasi NTT - Direktur Lap Timoris

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009718655

Related-Area: