Wajib Belajar 12 Tahun
Sekolah Masih Sulit Dijangkau
SUMBA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan segera melengkapi fasilitas pendidikan agar wajib belajar 12 tahun dapat dinikmati seluruh anak Indonesia. Di sejumlah daerah, sekolah masih sulit terjangkau.
Letak SMA/SMK yang jauh dari tempat tinggal, biasanya di kota kecamatan, membuat biaya perjalanan menuju sekolah menjadi tinggi. Bahkan, masih terdapat kecamatan yang belum memiliki SMA/SMK.
Daerah yang kekurangan SMA/SMK misalnya di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Sekretaris Daerah Kabupaten Sumba Timur Juspan, akhir pekan lalu, di Waingapu, mengatakan, wajib belajar 12 tahun dirasa masih berat. ”Kalau untuk murid yang tinggal dekat kota masih ada beberapa SMA/SMK. Tetapi, yang di pinggiran atau daerah terpencil, (SMA/SMK) baru ada di kecamatan. Itu pun masih ada dua kecamatan dari 22 kecamatan yang belum ada SMA/SMK,” kata Juspan.
Akibatnya, melanjutkan pendidikan ke SMA/SMK dirasa berat bagi murid dari keluarga miskin. Jarak yang jauh untuk ke SMA/SMK yang biasanya terletak di kota kecamatan mengakibatkan mahalnya biaya transportasi. Jika tidak memiliki saudara di kota kecamatan, mereka harus menanggung biaya hidup.
”Untuk sukses wajib belajar 12 tahun, ya, harus bisa seperti SD dan SMP yang dekat dengan masyarakat. Tetapi, ini sulit karena sarana dan prasarana SMA/SMK belum tersedia dan memadai,” ujar Juspan. Pemerintah daerah tersebut sudah mengalokasikan bantuan operasional sekolah (BOS) daerah di samping BOS dari pemerintah pusat. Namun, dana itu belum mampu menggratiskan murid di jenjang SMA/SMK.
Di daerah Indonesia timur yang lain, seperti Papua dan Papua Barat, peningkatan kualitas pendidikan juga diminta dipercepat. Desakan itu mengemuka, antara lain, dalam pertemuan Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid dengan pengurus Aptisi wilayah Papua dan perguruan tinggi swasta di Jayapura, akhir pekan lalu.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia di Papua terlihat, misalnya, dari angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang masing-masing 54,65 persen dan 42,64 persen, di bawah APK nasional yang sudah 85 persen dan 65 persen.
Ketua Aptisi Papua Melhambessi Moses mengatakan, pemerintah perlu berupaya keras untuk mengakselerasi peningkatan pendidikan di Papua dan Papua Barat. Jika tidak demikian, masyarakat Papua dan Papua Barat terus tertinggal.
Rumuskan
Selain kelengkapan sarana dan prasarana fisik bangunan sekolah, ketersediaan tenaga pengajar juga harus diperhitungkan, apalagi di daerah di wilayah terluar, terdalam, dan masih dalam kondisi tertinggal.
”Bagaimana bisa mewajibkan semua anak usia SMA/SMK/MA masuk sekolah jika sekolahnya saja tidak ada, apalagi guru. Kalaupun ada sekolah menengah di sebuah provinsi atau kabupaten/kota, jaraknya bisa jauh sekali dari rumah anak-anak. Itu saja dulu yang disiapkan,” kata Febri Hendri dari Divisi Pemantauan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch, Sabtu (1/11).
Jimmy Paat dari Koalisi Pendidikan juga menyarankan, program wajib belajar 12 tahun sebaiknya dirumuskan terlebih dulu bentuk dan mekanismenya. Selama ini, sekolah, guru, dan murid berada dalam wewenang pemerintah daerah sehingga perbaikan pendidikan tidak lepas dari pemerintah daerah. (ELN/LUK)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009855821
-
- Log in to post comments
- 150 reads