BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Beri Ruang untuk Hak Kebudayaan Bermanfaat dalam Era Globalisasi

Beri Ruang untuk Hak Kebudayaan
Bermanfaat dalam Era Globalisasi

JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang- Undang Kebudayaan melindungi, antara lain ruang bagi warga negara untuk mewujudkan hak kebudayaan. Harapannya, multikulturalisme kian tumbuh, terpelihara, dan menjadi kekuatan bangsa pada era globalisasi. Namun, rancangan undang-undang itu tidak mendapat perhatian.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan pembahasannya terkatung-katung selama 10 tahun. Saat ini, RUU berada di Badan Legislatif (Baleg) DPR.

Berdasarkan draf RUU Kebudayaan yang diperbarui oleh panitia kerja (panja) pada 22 Januari 2012, terdapat sejumlah pasal yang menjamin warga negara mewujudkan hak kebudayaan. Pemenuhan hak kebudayaan itu meliputi bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, nilai dan adat istiadat, serta cagar budaya.

”Undang-Undang ini, misalnya, melindungi orang-orang dengan adat istiadatnya,” kata Dedi S Gumelar yang akrab disapa Miing, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P.

Menurut Miing, kebudayaan merupakan basis kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Suatu negara tidak akan sepenuhnya hancur jika terjadi bencana alam ataupun krisis ekonomi. Namun, ketika kebudayaan hancur, peradaban suatu bangsa itu juga hancur. ”RUU ini tidak mengatur hal teknis, tetapi lebih ke perlindungan dan pelestarian kebudayaan Indonesia,” ujar Miing.

Pemenuhan hak kebudayaan yang dimaksud itu juga di bidang ideologi, politik, ekonomi, dan sosial. Pemenuhan hak kebudayaan itu, di antaranya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membangun ketahanan budaya, dan memperkokoh jati diri bangsa.

”Termasuk, di antaranya, perlindungan terhadap klaim budaya yang marak terjadi belakangan ini. Budaya yang bersifat fisik ataupun abstrak harus dilindungi,” kata Miing.
Iklim multikultur

RUU itu mengatur pula pengakuan hak atas masyarakat hukum adat dan dukungan pelestarian hak adat. Pembentukan organisasi dan pranata sosial baru juga mengarusutamakan kebudayaan. Secara lebih rinci, RUU itu mengatur tentang pemeliharaan dan kelestarian sejarah dan warisan budaya, di antaranya kuliner tradisional, upacara tradisional, pengobatan tradisional, budaya tradisional, arsip, naskah kuno, dan prasasti.

Keseluruhan upaya itu demi mengembangkan masyarakat majemuk Indonesia yang disatukan dalam iklim multikultur. Kebijakan pendidikan nasional pun harus disusun berdasarkan prinsip kebudayaan multikultural. Keragaman itu akan menjadi kekuatan.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Kebudayaan Asman Abnur mengatakan, kebudayaan menjadi isu marjinal yang kalah dengan isu ekonomi, dan lain-lain. Dengan adanya RUU itu diharapkan masyarakat sadar akan akar kebudayaannya. ”Kebudayaan kita jadikan payung terhadap aspek pendidikan, filosofi, dan kehidupan sehari-hari,” ujar Asman.
Globalisasi

RUU Kebudayaan juga dinilai bermanfaat dalam kompetisi global. Payung hukum itu akan menunjang prinsip pendidikan dalam membangun karakter dan akan berimbas meningkatnya daya saing bangsa. ”Turunan dari undang-undang ini nantinya juga menunjang pendidikan dan produk kebudayaan lainnya,” kata anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hanif Dhakiri, Kamis (22/5).

Direktur Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Endjat Djaenuderadjat mengatakan, generasi sekarang menghadapi soft power kebudayaan asing dan terkalahkan dalam menghadapi perang kebudayaan. Itu karena selama beberapa dekade, isu berkebudayaan lokal memang dipinggirkan. ”Ekspresi budaya masyarakat urban, seperti di Jakarta, makin menghilang. Pemekaran daerah berlangsung, tetapi tidak memandang dan berpijak pada aspek kebudayaan setempat,” kata Endjat. (A13/NAW)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006787585