Wiratno
Mencairkan Kebekuan dengan Pendekatan Budaya
Oleh: FRANS SARONG
KETEGANGAN hubungan antara warga yang bermukim di sekitar kawasan Taman Wisata Alam Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dan pengelola Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur yang berlangsung sekitar 10 tahun akhirnya bisa mencair berkat campur tangan Wiratno.
Hubungan antara warga di sekitar kawasan Taman Wisata Alam Ruteng dan pengelola BBKSDA sempat memburuk sejak peristiwa berdarah yang terjadi sekitar tahun 2004. Tragedi itu melibatkan sekelompok warga sekitar tepi kawasan taman wisata di Colol, Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur.
Berawal dari aksi damai sekitar 120 orang warga Colol dan sekitarnya di Polres Manggarai. Lewat aksi itu warga ingin menjemput tujuh orang rekan mereka yang sehari sebelumnya ditahan di Polres Manggarai. Mereka dianggap merambah atau menyerobot kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng di Colol dan sekitarnya.
Menanggapi aksi warga itu, aparat menyambutnya dengan senjata. Akibatnya enam orang tewas dan 29 orang terluka. Tujuh orang di antaranya kemudian menderita cacat.
Sejak konflik itu, komunikasi antara masyarakat sekitar taman wisata, terutama warga di Colol, dan pihak BBKSDA NTT sebagai pengelola taman wisata terputus. Dampak selanjutnya, pengelolaan TWA Ruteng terbengkalai sehingga penyerobotan, perambahan, dan kebakaran di kawasan itu kerap terjadi.
Awal tahun 2012 Wiratno ditugaskan sebagai Kepala BBKSDA NTT. Itu berarti dia bertanggung jawab mengelola 45 kawasan konservasi yang menyebar di NTT. Kawasan tersebut adalah kelompok taman wisata alam (13 lokasi), cagar alam (8), suaka margasatwa (6), dan taman buru (2).
Sejak awal mengemban tugas, Wiratno mengaku sudah mencatat pembenahan TWA Ruteng sebagai salah satu prioritas untuk diatasi. ”Pembenahan (TWA Ruteng) menjadi salah satu agenda yang menuntut penanganan serius dan secepatnya,” katanya.
Wiratno lalu mendalami kasus tersebut. Dia turun langsung ke lapangan dan bertemu dengan warga di sekitar TWA Ruteng, selain memperhatikan laporan yang masuk dari para pegawai.
Mengamati berbagai masukan yang dia dapatkan, Wiratno berkesimpulan bahwa tragedi berdarah yang terjadi di Colol merupakan kekeliruan pendekatan kepada warga. ”Kekeliruan pendekatan yang diterapkan BBKSDA NTT bersama pihak terkait di Manggarai waktu itu,” ujarnya.
Upaya pemulihan
Berdasarkan temuan dan kesimpulan tersebut, bersama jajaran BBKSDA NTT Wiratno aktif melakukan berbagai pendekatan kepada warga di sekitar TWA Ruteng. Dia ingin memulihkan kebekuan hubungan antara BBKSDA NTT dan warga di sekitar TWA Ruteng.
Upaya awal berlangsung pada Oktober 2012. Untuk mendekati warga, dia melibatkan dua tokoh masyarakat Colol, yakni Yosef Danur dan Kornelis Basot. Kedua orang itu menjadi mediator antara BBKSDA NTT dan warga setempat.
Agar proses tersebut berjalan lancar, Wiratno mengusung konsep upaya pemulihan sekaligus pengelolaan TWA Ruteng. Dia mengajukan konsep yang berbasis tiga pilar, yakni pemerintah, gereja, dan lembaga adat setempat.
Alhasil langkah pemulihan hubungan antara pihak pengelola TWA Ruteng dan warga di sekitarnya berlangsung relatif mulus. Konsep yang ditawarkan BBKSDA NTT mendapat respons positif kalangan tetua adat di Colol, juga gereja Katolik setempat.
Kepala Desa Colol Marselinus Subadir mengatakan, kemungkinan besar warga bersikap ragu-ragu jika upaya pemulihan tersebut hanya dilakukan BBKSDA NTT.
”Respons kami langsung positif karena BBKSDA (NTT) datang bersama aparat pemerintah setempat, gereja Katolik, dan lembaga adat di Colol. Keterlibatan berbagai pihak itu membuat warga yakin bahwa upaya pemulihan sungguh-sungguh untuk kebaikan bersama,” kata Marselinus.
”Warga terharu karena Pak Wiratno mengawali upaya pemulihan dengan wae lu’u bagi korban tragedi berdarah tahun 2004,” ujarnya.
Di lingkungan masyarakat Manggarai, wae lu’u adalah bentuk keterlibatan dalam perkabungan yang ditandai dengan pemberian uang berapa pun nilainya.
Harus dijaga
Respons senada juga disampaikan tu’a gendang (tetua adat) Colol, Mikael Nak. ”Warga Colol umumnya menyadari kawasan hutan harus dijaga. Di sini yang dibutuhkan kesepakatan bersama untuk memastikan batas kawasan secara jelas,” ujarnya.
Alhasil kebekuan dan ketegangan hubungan warga Colol dan BBKSDA NTT mencair. Pemerintah, lembaga adat, dan gereja Katolik terlibat aktif menelusuri kembali tapal batas kawasan TWA Ruteng seluas 32.245,60 hektar. ”Penelusuran awal kami lakukan akhir Desember lalu untuk tapal batas di sekitar Colol,” kata Wiratno.
Kegiatan itu melibatkan antara lain Pastor Paroki Colol Rm Sonny Igar Pr, tetua adat Yohanes Ripin dan Rikardus Usmin, serta tokoh masyarakat Yoseph Danur dan Kornelis Basot. Selain itu, berperan pula Kepala Desa Colol Marselinus Subadir dan Kepala Desa Rendenao Ferdinandus R Bagung serta Serda Yanto dan Serda Maksimus G Laka dari unsur TNI.
Penelusuran kembali tapal batas TWA Ruteng di Colol sepanjang sekitar 7 kilometer itu menemukan 51 dari 76 pal sepanjang tapal batas. Dari 51 pal itu, sebanyak 49 titik berada di kebun ataupun sawah petani.
Wiratno menegaskan, TWA Ruteng harus dijaga, tetapi warga sekitarnya tak boleh dikorbankan. Mereka justru diharapkan aktif menyelamatkan taman wisata alam itu.
”Selalu terbuka kemungkinan meninjau kembali posisi pal. Tentunya atas dasar kesepakatan bersama dan tak bertentangan dengan regulasi,” ujar Wiratno.
—————————————————————————
Wiratno
♦ Lahir: Tulungagung, Jawa Timur, 28 Maret 1962
♦ Istri: Asih Sumekarwati (49)
♦ Anak:
- Alif Penandaru Farhan (17)
- Hana Fairuzamira (15)
- Naufal Reyhan Mahasin (13)
♦ Pendidikan:
- S-1 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, 1988
- S-2 International Institute for Aerospace & Earth Sciences ITC, Belanda, 1993
♦ Pekerjaan:
- Kepala Seksi Pengelolaan Kawasan Konservasi, Direktorat Bina Program, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), 1994-1998
- Kepala Unit Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) DI Yogyakarta, 1999-2000
- Policy Analyst di Conservation International Indonesia, 2001-2004
- Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser, 2005-2007
- Kepala Subdit Pemolaan dan Pengembangan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2008-2011
- Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur, 2012-awal 2014
- Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, 14 Januari 2014-kini
♦ Karya buku antara lain:
- ”Berkaca di Cermin Retak, Refleksi Konservasi dan Implikasinya Bagi Pengelolaan Taman Nasional”, 2002
- ”Nakhoda, Leadership dalam Organisasi Konservasi”, 2004
- ”Solusi Jalan Tengah, Esai-esai Konservasi Alam”, 2011
- ”Tersesat di Jalan yang Benar, Seribu Hari Mengelola Leuser”, 2013
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006170268
-
- Log in to post comments
- 346 reads