BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

HARI PEREMPUAN LBH APIK: Keadilan Hukum Diabaikan

HARI PEREMPUAN
LBH APIK: Keadilan Hukum Diabaikan
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan menemukan, proses penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan oleh aparat negara cenderung mengabaikan keadilan. Tingginya tingkat kesulitan dan kerumitan proses hukum di instansi aparat negara berkontribusi untuk pengabaian itu.
Anggota staf Advokasi Hukum LBH APIK Jakarta, Uli Arta Pangaribuan, di Jakarta, Sabtu (8/3), menyebutkan, beberapa kesulitan yang sering dihadapi korban adalah tidak transparannya penanganan kasus, tidak jelasnya mekanisme pelaporan, dan lamanya penyelesaian kasus. ”Kami menilai instansi aparat negara selalu berupaya melindungi pelaku sehingga membutuhkan waktu lebih dari dua bulan hingga setahun,” ujar Uli seusai menyampaikan Laporan Tahunan LBH APIK (2013) yang bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional.
Data LBH APIK tahun 2013 menunjukkan, jumlah korban kekerasan meningkat 10 persen dari tahun 2012. Tahun 2013, ada 34 kasus kekerasan yang dilaporkan kepada LBH APIK, 14 kasus di antaranya dalam proses hukum. Kasus itu meliputi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual.
”Pelaku kekerasan paling dominan adalah anggota Polri (5 orang) dan TNI (4 orang),” kata Uli. Sisanya berasal dari jaksa (1), pegawai negeri sipil (1), pejabat Kementerian Luar Negeri (1), dan pejabat publik lainnya (2).
Selain Polri dan TNI sebagai pelaku dominan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, proses penanganan hukum di dua instansi ini juga paling sulit.
Ditanya soal lamanya penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan di Polri, Kepala Divisi Humas Polri Ronny F Sompie yang dihubungi mengungkapkan adanya pertimbangan kegentingan.
”Kalau di tingkat Propam (Profesi dan Pengamanan) jangka waktu penyelesaian kasusnya hanya dua bulan. Namun, kami kan juga harus menangani kasus- kasus lain,” ujar Ronny.
Menurut dia, kasus kekerasan terhadap perempuan harus dibedakan. KDRT hingga luka fisik ditempuh proses pidana di pengadilan. Jika menelantarkan istri dan tidak memberi upah, proses perdata di Propam.
Mengenai sanksi, Propam menyerahkan kepada atasan. ”Kami mempertimbangkan aspek manusiawi sehingga sering memberi teguran, nasihat, atau penurunan pangkat,” ujar Ronny. (A05)
 

JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan menemukan, proses penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan oleh aparat negara cenderung mengabaikan keadilan. Tingginya tingkat kesulitan dan kerumitan proses hukum di instansi aparat negara berkontribusi untuk pengabaian itu.

Anggota staf Advokasi Hukum LBH APIK Jakarta, Uli Arta Pangaribuan, di Jakarta, Sabtu (8/3), menyebutkan, beberapa kesulitan yang sering dihadapi korban adalah tidak transparannya penanganan kasus, tidak jelasnya mekanisme pelaporan, dan lamanya penyelesaian kasus. ”Kami menilai instansi aparat negara selalu berupaya melindungi pelaku sehingga membutuhkan waktu lebih dari dua bulan hingga setahun,” ujar Uli seusai menyampaikan Laporan Tahunan LBH APIK (2013) yang bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional.

Data LBH APIK tahun 2013 menunjukkan, jumlah korban kekerasan meningkat 10 persen dari tahun 2012. Tahun 2013, ada 34 kasus kekerasan yang dilaporkan kepada LBH APIK, 14 kasus di antaranya dalam proses hukum. Kasus itu meliputi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual.

”Pelaku kekerasan paling dominan adalah anggota Polri (5 orang) dan TNI (4 orang),” kata Uli. Sisanya berasal dari jaksa (1), pegawai negeri sipil (1), pejabat Kementerian Luar Negeri (1), dan pejabat publik lainnya (2).
Selain Polri dan TNI sebagai pelaku dominan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, proses penanganan hukum di dua instansi ini juga paling sulit.

Ditanya soal lamanya penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan di Polri, Kepala Divisi Humas Polri Ronny F Sompie yang dihubungi mengungkapkan adanya pertimbangan kegentingan.

”Kalau di tingkat Propam (Profesi dan Pengamanan) jangka waktu penyelesaian kasusnya hanya dua bulan. Namun, kami kan juga harus menangani kasus- kasus lain,” ujar Ronny.

Menurut dia, kasus kekerasan terhadap perempuan harus dibedakan. KDRT hingga luka fisik ditempuh proses pidana di pengadilan. Jika menelantarkan istri dan tidak memberi upah, proses perdata di Propam.

Mengenai sanksi, Propam menyerahkan kepada atasan. ”Kami mempertimbangkan aspek manusiawi sehingga sering memberi teguran, nasihat, atau penurunan pangkat,” ujar Ronny. (A05)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005340042