RELASI SOSIAL
Tidak Lelah Merajut Persaudaraan
LIMA belas tahun lalu, ikatan persaudaraan di Ambon, Maluku, dikoyak oleh konflik bernuansa agama. Tidak ingin peristiwa itu terulang, masyarakat Ambon terus berjuang merajut persaudaraan agar perdamaian yang ada kini abadi.
Warga Ambon berkumpul di Monumen Gong Perdamaian, Ambon, beberapa waktu lalu. Tarian Sawat dan Lenso yang diiringi alunan musik rebana dan toto buang (gong kecil berjumlah 14 buah) pun disajikan. Kedua tarian itu identik dengan dua kelompok warga yang bertikai pada 1999-2004. Sawat dan rebana identik dengan umat Islam, lenso dan toto buang untuk Kristen, menyatu menjadi sajian menarik. Penggabungan seni warisan leluhur orang Maluku itu memperlihatkan bahwa keragaman bisa melahirkan satu kolaborasi yang indah.
Penggabungan dua tarian itu menjadi salah satu bagian penting dalam ”Festival Orang Basudara” untuk mengenang 15 tahun pecahnya konflik bernuansa agama di Ambon, yang menyebar ke daerah lain di Maluku. Untuk kali pertama, tragedi itu diperingati dengan melibatkan ratusan orang.
”Lima belas tahun lalu, mulai pukul 14.00 WIT, 19 Januari 1999, konflik itu pecah. Kami merefleksikan peristiwa itu dengan kegiatan bernuasa merajut perdamaian,” tutur Jacklevyn Manuputty, pegiat perdamaian yang menginisiasi acara itu.
Tak sebatas pentas seni, buku berjudul Carita Orang Basudara diluncurkan. Buku setebal 406 halaman yang ditulis oleh 25 orang itu mengisahkan lika-liku setiap penulis membangun perdamaian saat konflik terjadi. ”Melalui buku ini, kami ingin mewariskan kepada generasi penerus tentang pentingnya perdamaian. Kami juga ingin mengatakan kepada dunia bahwa Maluku bukan hanya tempat konflik seperti masa lalu, melainkan menjadi sumber tumbuhnya perdamaian,” papar Jacky.
Upaya lain untuk memperkokoh perdamaian juga dilakukan dalam gerak jalan bersama bertemakan ”Gerak Jalan Kerukunan”. Sedikitnya 17.000 warga mengikuti acara itu, berjalan bersama mengitari jalan utama di pusat kota, mengabaikan berbagai sekat antarmereka.
”Ini adalah kegiatan terbesar sejak Maluku berdiri. Terlebih lagi, pasca konflik sosial, baru kali ini manusia dalam jumlah banyak dari berbagai suku dan agama berbaur bersama,” tutur Agustinus Robeni(63), warga.
Warga lain, Rahman Munardi (52), mengatakan hal yang sama. Pemilik rumah makan di Pasar Mardika itu membawa spanduk bertuliskan ”Damai Itu Indah. Perbedaan Itu Indah. Jadi, Damai dalam Perbedaan”.
Keduanya menilai, Ambon yang dahulu sempat mencekam kini lebih nyaman. ”Kita bisa ke mana-mana. Sekarang hidup di sini enak. Semua orang tidak sibuk lagi dengan urusan yang membawa keretakan,” ungkap Rahman. Acara itu dilanjutkan dengan penyampaian pesan damai dari tokoh agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Tokoh agama Islam, yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Maluku, Idris Latuconsina, mengatakan, warga Maluku sadar konflik sosial itu tak akan membawa sedikit pun keuntungan bagi siapa pun. Seperti peribahasa, kalah jadi abu, menang jadi arang.
Kedamaian yang tercipta di Maluku terjaga dan kian erat adalah hasil kerja keras dari seluruh masyarakat, termasuk sikap yang tidak mau terpancing oleh berbagai isu yang bisa menciptakan keretakan. Idris berharap warga menjaga dan semakin mengeratkan kondisi yang tercipta saat ini, sembari meminta agar jangan ada yang merusak ketenteraman itu.
Tokoh agama Katolik, Uskup Diosis Amboina Mgr PC Mandagi MSC, menambahkan, kerukunan yang tercipta dalam kehidupan sosial adalah anugerah terindah dari Tuhan. Namun, kerukunan mempunyai musuh, baik dari luar maupun dari dalam Maluku. ”Terlebih kalau kepentingan politik praktis masuk. Jangan sampai ini merusak kerukunan itu,” ucap dia.
Menteri Agama Suryadharma Ali yang ikut dalam gerak jalan itu menegaskan, kerukunan adalah kebutuhan. Masyarakat perlu sadar, perpecahan yang terjadi akan membawa kerugian.
Pekerjaan rumah
Meski demikian, Ketua Lembaga Antar-Iman Maluku Abidin Wakano mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam rangka menciptakan perdamaian yang abadi di Maluku. Akibat konflik kini tercipta segregasi di masyarakat Maluku.
”Segregasi membuat ruang perjumpaan informal menjadi terbatas. Saat hal itu terjadi, rasa saling curiga antarkomunitas masih bisa muncul. Hal ini bisa dimanfaatkan provokator untuk memicu konflik terulang lagi,” papar Abidin. (frn/apa)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005810025
-
- Log in to post comments
- 205 reads