BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Tanggung Jawab di Daerah

Tanggung Jawab di Daerah
Komitmen Sekolah Menilai Anak Didik secara Obyektif Diragukan

JAKARTA, KOMPAS — Tanggung jawab pelaksanaan dan pengawasan penerimaan murid baru SMP/ MTs ada di tangan daerah. Daerah diminta aktif mencegah dan memberikan sanksi kepada sekolah yang berkeras tetap menyelenggarakan tes masuk.

Nantinya, hasil pencapaian belajar di SD/MI yang terlihat dari ujian sekolah dan rapor yang jadi pertimbangan utama penerimaan murid di SMP/MTs. ”Tak boleh ada tes lain. Kalau SMP/ MTs bikin tes lagi, anak-anak SD/MI yang tak lulus mau sekolah di mana? Swasta juga pakai tes,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Kamis (13/2), di Jakarta.

Nuh mengatakan, ada semangat integrasi vertikal mulai jenjang pendidikan dasar hingga tinggi. Artinya, capaian jenjang pendidikan di SD/MI, misalnya, harus diakui dan tak diragukan kredibilitas ataupun kualitasnya oleh SMP/MTs. Begitu juga capaian di SMP/MTs harus diakui SMA/SMK/MA dan seterusnya. ”Tumbuhkan saling mengakui dan jangan ragukan kredibilitasnya. Kalau satu sama lain masih ragu, tak akan selesai,” ujarnya.

Penggunaan tes lagi juga bisa menimbulkan masalah baru dan kecurigaan lebih besar pada proses penerimaan murid. Bisa muncul suap atau ”titip”. ”Semangatnya semata-mata ingin ada saling percaya dan meningkatkan kredibilitas antarjenjang pendidikan,” ujar Nuh.
Soal ujian

Sampai saat ini, naskah soal ujian sekolah masih digarap provinsi bekerja sama dengan kabupaten/kota. Soal ujian yang dibuat daerah berdasarkan kisi-kisi yang dibuat Kemdikbud.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Ramon Mohandas menjelaskan, pemerintah tetap membuat kisi-kisi soal yang diserahkan ke sekolah agar ada standar kualitas, yakni 25 persen buatan pemerintah. Kisi-kisi soal itu sesuai mata pelajaran yang akan diujikan: Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA.

Dari Palu, Sulawesi Tengah, sekolah menjamin takkan curang dalam pemberian nilai rapor dan ujian sekolah. ”Itu bumerang bagi sekolah dan peserta didik,” kata Kepala Sekolah SD Negeri 24 Palu Sitti Syamsinar.

Sementara itu, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako, Palu, Gazali Lembah, menilai, sukar membuktikan komitmen sekolah-sekolah menilai peserta didik secara obyektif. Dalam penyelenggaraan UN dan masuk perguruan tinggi saja kecurangan marak, apalagi penilaian dengan mekanisme otonomi sekolah. ”Akhirnya yang dipertaruhkan kejujuran penyelenggara pendidikan,” ujarnya. (LUK/VDL)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004802943