PERKEMBANGAN ekonomi Indonesia awal tahun ini memperlihatkan perbaikan dan optimisme, tetapi tetap harus disertai kehati-hatian.
Salah satu indikator adalah menguatnya nilai rupiah dalam dua pekan terakhir. Penguatan tersebut mengindikasikan pilihan kebijakan yang telah diambil pemerintah dan Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga acuan BI Rate ke aras 7,5 persen berhasil mengerem belanja impor.
Rupiah dapat terus menguat mengingat bank sentral Amerika Serikat masih menggelontorkan uang tunai ke pasar keuangan melalui pembelian obligasi. Dana segar itu cenderung ditanamkan dalam investasi portofolio di negara berkembang yang memiliki prospek ekonomi baik, termasuk Indonesia, karena perbaikan ekonomi AS masih tertatih-tatih yang dicerminkan pada tingginya angka pengangguran.
Harga komoditas perkebunan, mulai dari minyak sawit, kakao, hingga kopi, yang menjadi andalan Indonesia juga bergerak naik tinggi sepekan terakhir.
Meski demikian, belajar dari pengalaman tahun lalu, kehati-hatian tetap harus menjadi prioritas. Pendapatan ekspor dari sektor tambang akan turun tahun ini karena pemerintah melarang ekspor mineral mentah. Namun, kebijakan pemerintah untuk mengekspor hanya mineral olahan tetap harus berjalan demi kepastian usaha dan pembangunan jangka panjang.
Belajar dari pengalaman tahun lalu, membaiknya harga komoditas perkebunan seharusnya tidak serta-merta membuat pemerintah dan pelaku usaha enggan mengolah komoditas di dalam negeri untuk mendapat nilai tambah dan pasar yang lebih stabil. Pada saat sama, ada baiknya juga memperhatikan kecenderungan menguatnya proteksi dari negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melalui pembatasan perdagangan.
Kita cenderung mudah lupa ketika keadaan membaik. Padahal, membangun suatu bangsa memerlukan komitmen dan kerja keras jangka panjang. Misalnya, upaya mengurangi impor bahan bakar minyak dengan menambah pasokan bahan bakar nabati dari dalam negeri harus tetap dilaksanakan meski harga minyak sawit dunia membaik.
Juga rencana industrialisasi melalui pemberian insentif pada industri bernilai tambah, yang disertai inovasi dan riset, harus segera diwujudkan sebelum pemerintahan berganti. Begitu juga komitmen membangun infrastruktur dan sumber daya manusia.
Tanpa strategi yang konsisten dalam jangka panjang, Indonesia akan kehilangan kesempatan meraih kemakmuran sebagai negara kaya dengan memanfaatkan bonus demografi. Nilai tukar rupiah akan terus bergejolak akibat permainan pelaku pasar uang karena tidak ada bantalan dari sektor riil untuk menahan. Kembali rakyat di bagian bawah piramida kemakmuran yang akan paling menderita.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005378688
-
- Log in to post comments
- 55 reads