BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ritual Adat yang Menembus Batas Negara

TANAH AIR
Ritual Adat yang Menembus Batas Negara

Oleh: FRANS SARONG

Sudah 15 tahun mereka dipisahkan oleh batas negara. Ternyata tapal batas tidak memupuskan kekerabatan. Mereka tetap bernaung di bawah rumah adat yang sama. Pada waktu tertentu, keluarga serumpun berkumpul, terutama saat perbaikan rumah adat, kedukaan, atau ritual adat utama.

Contohnya dilakoni oleh keluarga Amnunu, Foni, Kolo, Kaet, Siki, dan Seko, sejumlah marga atau subrumpun keluarga yang menyebar di Pulau Timor bagian tengah. Sebagian anggota rumpun keluarga menetap di sejumlah kampung di kawasan tepi utara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur. Sebagian lainnya di Oekusi, wilayah enklave negara baru Timor Leste.

”Rumah adat kami tetap satu, yakni ume leu (rumah pemali atau rumah adat) di Tes. Sejauh ini, tapal batas negara bukan halangan bagi kami berkumpul untuk acara adat, kedukaan, atau urusan keluarga lainnya. Kapan saja kami selalu mungkin mengunjungi keluarga di Oekusi atau sebaliknya,” papar Dominikus Amnunu (58), tetua utama ume leu Tes, yang menaungi sejumlah subrumpun keluarga besar itu.

Kampung tua Tes berlokasi di Desa Tes, Kecamatan Bikomi Utara. Posisinya sekitar 25 kilometer sebelah utara Kefamenanu, ibu kota TTU. Kampung Tes tidak jauh dari pintu utama pelintasan ke Oekusi atau sebaliknya, di Napan.

Oekusi, yang sebelah utaranya menghadap Selat Ombai, sejak 500 tahun lalu tetap saja menjadi wilayah enklave. Itu karena terkait erat dengan sejarah kedatangan Portugis bersama misionaris Katolik. Menurut catatan sejarah, mereka pertama kali menginjakkan kakinya di Oekusi pada abad ke-16.

”Penguasaan Timor bagian timur, sekaligus penyebaran ajaran Katolik di Timor oleh Portugis bersama misionarisnya, jejak awalnya dari Oekusi,” ujar rohaniwan Katolik yang juga budayawan di TTU, Petrus Salu SVD. Temali sejarah itulah yang membuat Oekusi sejak awal menjadi daerah ”kantong” Timor Portugis. Selanjutnya menjadi bagian Provinsi Timtim ketika bersama NKRI hingga akhirnya menjadi wilayah enklave Timor Leste.

Didampingi Yoseph Kolo Soi, Yakobus Kefi, Paulus Noe, dan sejumlah tetua, Dominikus Amnunu mengakui, rumpun keluarga dari seberang (Oekusi) terakhir berkunjung dan berkumpul di ume leu Tes sekitar November 2013. Itu
terkait ritual khusus menjelang musim tanam jagung dan padi dalam rumpun keluarga besar itu. Rangkaian upacara adatnya diawali dengan ritual tapoin fini, yakni pengeluaran benih dari tempat penyimpanan khusus dalam rumah adat (ume leu).

Benih unggulan menurut pandangan para tetua lalu diarak hingga puncak bukit Napan, sekitar 2 km dari ume leu. Ikut dibawa pula hewan kurban, masing-masing seekor sapi dan babi.

Di puncak bukit itu sejak turun-temurun sudah tersedia mazbah atau tempat persembahan kurban dari gundukan susunan batu. Setelah melalui doa adat di sekitar mazbah, kedua hewan kurban disembelih. Tetesan darah perdananya dioleskan pada benih dan batu tengah mazbah. Sebelum para tetua dan semua kerabat makan bersama di puncak bukit Napan harus didahului pemberian sesajen bagi leluhur. Sesajen itu lazimnya berupa hati hewan kurban yang dibakar disertai sejumput nasi dan sirih pinang. ”Rangkaian acara di puncak bukit itu namanya (ritual) fua ton,” ujar Yoseph Kolo Soi, tetua lain.
Jalan tikus

Rangkaian ritual tapoin fini yang ditutup dengan fua ton di puncak bukit Napan dihadiri puluhan warga dari rumpun keluarga Amnunu, Foni, Kolo, Kaet, Siki, dan Seko, termasuk sebagiannya dari Oekusi. Lazimnya, informasi awal terkait rencana pelaksanaan ritual didahului penyebaran kabar melalui sejumlah kurir dari ume leu. Sebagian di antaranya secara langsung mengabarkan kepada kerabat mereka di Oekusi.

Penyebaran para kurir, terutama ke Oekusi atau sebaliknya, biasanya melalui jalan tikus yang mereka sebut sebagai ”jalan keluarga”. Demikian pula kunjungan keluarga menjelang hari-H (kegiatan ritual), mereka umumnya lebih memilih ”jalan keluarga”.

Dominikus Amnunu mengatakan, kalau berkunjung dalam jumlah banyak atau hingga puluhan orang, seperti November tahun lalu, biasanya hanya sejumlah tetua utama yang melalui pintu resmi. Sebagian besar lainnya melalui ”jalan keluarga”. ”Petugas perbatasan, apakah di pihak Oekusi atau Indonesia, umumnya tahu dan memaklumi kalau kunjungan khusus untuk upacara adat,” papar tetua terpandang di Tes itu.

Sekadar menggenapi pemahaman, Timor Timur atau Timtim—kini Timor Leste—lepas dari NKRI melalui penentuan pendapat (referendum) 1999. Pemisahan itu meninggalkan tapal batas 280 km, masing-masing sepanjang tepi timur Belu dan Kabupaten Malaka (pemekaran dari Belu, 149,9 km). Lainnya terbentang di tepi utara TTU, termasuk kawasan sekitar Kampung Tes (114,9 km) dan Kabupaten Kupang (15,2 km).

Sebenarnya ikatan kekerabatan yang masih saling kunjung tidak hanya terjadi di keluarga yang bernaung di bawah ume leu Tes. Kunjungan serupa dilakukan kelompok masyarakat sekitar tapal batas lainnya.

Tetua Feliks Elu dan adiknya, Marsel Elu, sekitar tiga tahun lalu, membaur dengan sekitar 100 warga terkait ritual niut
naten atau perbaikan kuburan di Banat. Kuburan umum itu berlokasi di tepi utara Desa Manamas, Kecamatan Naibenu,
65 km sebelah utara Kefamenanu. Ritual unik itu ternyata sekaligus menjadi momentum reuni keluarga yang terpisahkan oleh tapal batas negara RI-Timor Leste. Dua bersaudara kandung itu contoh konkretnya. Feliks adalah warga Ponu, TTU, dan Marsel warga Nipani, Oekusi.

”Kami memang dari leluhur yang sama. Bahasa, adat, dan budayanya sama hingga kekerabatan tak mungkin putus hanya karena dipisahkan tapal batas negara. Yang kami harapkan, tapal batas negara jangan sampai menghambat kekerabatan dan kebersamaan kami secara fisik,” ungkap Antonius Meko, tetua adat di Manamas. Ia pun mengakui, keluarga asal Oekusi yang mengikuti ritual niut naten saat itu sebagian datang melalui jalan tikus. Begitu juga sebaliknya.

Kehadiran sesamanya dari seberang atau sebaliknya saat ritual adalah bukti tapal batas tidak berarti melenyapkan kekerabatan. Contohnya ritual adat tapoin fini atau fua ton dan niut naten yang kehadiran anggota keluarga pendukung menembus batas negara!

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006399451