RI dan Tantangan 10 Besar Dunia
DATA PDB dunia berdasarkan paritas daya beli 2011 yang dipublikasikan mengukuhkan RI sebagai perekonomian kesepuluh terbesar dunia.
Data International Comparison Program, afiliasi Bank Dunia, ini menggambarkan lompatan revolusioner Indonesia, bersama emerging economies dunia lain, seperti Tiongkok dan India, yang kini di urutan kedua dan ketiga dunia.
Tiongkok bahkan diprediksi menggusur Amerika Serikat sebagai perekonomian terbesar akhir 2014 (lebih cepat dari prediksi 2019), setelah 2009 menyalip Jerman sebagai eksportir terbesar dan 2010 menggeser Jepang sebagai ekonomi kedua terbesar. Melihat tren pertumbuhan PDB global, hanya soal waktu Indonesia dengan penduduk kelima terbesar dan pertumbuhan PDB beberapa tahun ke depan diperkirakan di atas 6 persen, masuk lima besar dunia.
Di satu sisi, ini capaian menggembirakan. Namun, posisi ke-10 terbesar tak akan ada artinya jika kita gagal menjawab tantangan sebagai perekonomian besar itu sendiri. Kian besar skala ekonomi, kian besar pula tantangan yang menuntut pula serangkaian kebijakan baru, terutama untuk mengatasi berbagai kelemahan dan mengantisipasi tantangan ke depan sebagai perekonomian besar dunia.
Dalam konteks internasional, tanggung jawab sebagai perekonomian besar, antara lain, adalah berada di garis depan dalam berbagai prakarsa global. Namun, lebih penting lagi, tantangan dalam negeri. Salah satu tantangan terbesar kita terutama terkait penduduk yang juga besar, dengan pengangguran, kemiskinan, dan disparitas tinggi.
Gambaran PDB 10 besar dunia sangat kontras dengan PDB per kapita kita yang peringkat ke-107 dunia. Korupsi dan kegagalan pemerataan manfaat pembangunan membuat kita tak kunjung mampu keluar dari problem kemiskinan dan ketimpangan. Lebih dari tiga dekade kita tak mampu keluar dari perangkap pendapatan menengah bawah. Hampir separuh penduduk di sekitar garis kemiskinan.
Persoalan besar lain terkait dimensi ketersediaan sumber daya yang menjamin kesinambungan pertumbuhan ke depan. Pertumbuhan ekonomi tinggi kita selama ini dimungkinkan karena pengurasan sumber daya alam yang diekspor secara gelondongan untuk menopang pembangunan negara pesaing, tanpa nilai tambah memadai dalam negeri untuk akumulasi modal fisik. Pada saat yang sama, kita alpa membangun modal manusia (human capital).
Harus ada koreksi terhadap berbagai blunder kebijakan, termasuk strategi pembangunan yang justru mengancam kesinambungan pertumbuhan. Tanpa itu, ibarat gali kubur sendiri. Sebagai negara ke-10 terbesar, struktur ekonomi kita jauh dari struktur negara industri maju. Ekspor kita masih didominasi komoditas, manufaktur mengalami deindustrialisasi, pertumbuhan lebih banyak didorong konsumsi.
Penekanan perlu diberikan pada sektor berbasis kekuatan dalam negeri, memberi nilai tambah serta menyerap tenaga kerja, seperti pertanian dan manufaktur. Strategi pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment jangan lagi hanya slogan. Ke depan, selain menciptakan iklim kondusif untuk ekonomi tumbuh kuat, sehat, berdaya saing; tantangan kita adalah mengatasi distorsi dan penyakit kronis ekonomi.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006451211
-
- Log in to post comments
- 169 reads