Ratusan Ribu Anak Balita Meninggal
Penyakit Mudah Dicegah Jadi Penyebab
JAKARTA, KOMPAS — Pasca 25 tahun penandatanganan Konvensi Hak Anak, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam memberi kesempatan anak-anak untuk hidup dan berkembang. Setiap tahun, 136.000-190.000 anak di bawah usia lima tahun meninggal akibat penyakit yang mudah dicegah atau diobati.
Demikian salah satu poin yang disampaikan oleh Kepala Perwakilan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) di Indonesia Gunilla Olsson, Kamis (20/11), di sela-sela peluncuran laporan utama Unicef ”The State of The World’s Children 2015” dan peringatan 25 tahun penandatanganan Konvensi Hak Anak, di Jakarta.
”Kebanyakan anak balita meninggal karena penyakit yang mudah dicegah atau diobati, seperti komplikasi pasca persalinan, diare, dan pneumonia. Selain itu, setiap tahun, hampir 10.000 perempuan Indonesia juga meninggal karena persalinan,” ungkapnya.
Persoalan lain adalah munculnya kesenjangan signifikan pertumbuhan tubuh anak antara satu daerah dan daerah lain. Kasus stunting (tubuh pendek) anak balita cukup tinggi, yaitu 37 persen. Bahkan, di beberapa provinsi, seperti Nusa Tenggara Timur, lebih dari 50 persen anak balita mengalami stunting.
Banyak anak Indonesia, terutama yang tinggal di desa, daerah kumuh perkotaan, dan keluarga miskin, belum mendapat manfaat dari pertumbuhan pembangunan, seperti fasilitas sanitasi. ”Di perkotaan, ketersediaan fasilitas sanitasi mencapai 71 persen, sedangkan di pedesaan hanya 46 persen,” kata Olsson.
Menyikapi itu, Juni 2014, Komite Hak Anak (KHA) PBB mendesak Indonesia mengatasi tantangan-tantangan, terutama hak anak. Beberapa rekomendasi yang disampaikan adalah tentang rendahnya pengeluaran anggaran kesehatan negara yang hanya 3 persen dari total produk domestik bruto sejak tahun 2012, perlunya investasi yang memadai dan berkualitas terkait pelayanan kesehatan reproduksi dan ibu, penguatan kebijakan pencegahan penyebaran virus HIV kepada anak, penyediaan akses pendidikan yang baik, dan peningkatan pencatatan kelahiran.
”Angka pencatatan kelahiran di Indonesia baru 67 persen. Komite mendesak agar Pemerintah Indonesia memastikan anak yang lahir di Indonesia tercatat, terlepas dari kebangsaan, agama, dan status kelahiran mereka,” tuturnya.
Komite juga menekankan pentingnya negara, masyarakat, dan keluarga mencegah pelecehan dan kekerasan terhadap anak dalam bentuk apa pun. Untuk itu, sistem pelayanan, pelaporan, dan pemantauan kasus kekerasan terhadap anak perlu diperkuat.
Masalah lain yang jadi perhatian KHA adalah tingginya prevalensi perkawinan anak. Di Indonesia, 25 persen anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Angka ini adalah yang tertinggi di Asia Timur dan Pasifik.
Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan, kasus perkawinan anak mesti diturunkan hingga nol persen. Sebab, hingga usia 18 tahun, anak idealnya melalui masa pendidikan dasar.
”Bagaimana bisa seorang anak mengasuh anak? Minimal, mereka harus menyelesaikan pendidikan dasar terlebih dulu sebelum menikah. Ini penting karena sepertiga dari penduduk Indonesia, sekitar 85 juta penduduk, adalah anak-anak di bawah 18 tahun,” papar Lenny.
Meningkat
Terlepas dari segala macam persoalan, dalam 25 tahun terakhir, angka kematian anak balita turun lebih dari 50 persen sejak 1990-2013. Pada 1990 terjadi 84 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan pada 2013 turun menjadi 29 kematian per 1.000 kelahiran hidup.
Karena penurunan angka kematian anak ini, harapan hidup masyarakat meningkat dari 63 tahun pada 1990 menjadi 71 tahun pada 2013. Pertolongan persalinan terampil juga meningkat signifikan dari 32 persen pada 1991 menjadi 83 persen selama 2009-2013. Dengan demikian, kematian ibu pun turun dari 600 per 100.000 kelahiran jadi 220 per 100.000 kelahiran. (ABK)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010215002
-
- Log in to post comments
- 283 reads