BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PENGELOLAAN HUTANREDD+ Jalan Masuk Ekonomi Hijau

PENGELOLAAN HUTAN
REDD+ Jalan Masuk Ekonomi Hijau
JAKARTA, KOMPAS — Laporan baru International Resource Panel memberikan jalan masuk REDD+ sebagai bagian dari pendekatan ekonomi hijau. Program penurunan emisi lewat deforestasi dan degradasi hutan itu memberikan peluang negara-negara pemilik hutan memilih jalur pembangunan berkelanjutan melalui konservasi, restorasi, dan pengelolaan hutan lestari.
Hutan menopang 1,6 miliar orang, sedangkan nilai jasa ekosistem hutan tropis senilai 6.120 dollar AS per hektar per tahun. Namun, deforestasi berupa hilangnya hutan-hutan tropis masih terus terjadi yang pada periode 2000-2010 mencapai 13 juta hektar per tahun (data FAO).
”Hutan tropis menyerap setengah jumlah karbon di atmosfer. Namun, tak hanya itu, hutan juga sumber kehidupan manusia,” kata Jeff McNeely, anggota International Resources Panel (IRP) yang juga penulis utama laporan ”Membangun Modal Alam: Bagaimana REDD+ dapat Mendukung Ekonomi Hijau”, Jumat (21/3), di Jakarta.
Peluncuran laporan atas sponsor Program PBB untuk Lingkungan (UNEP) itu menghadirkan penanggap Peter Holmgren (Direktur Jenderal Lembaga Internasional Penelitian Kehutanan/CIFOR), Emil Salim (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden), dan Kuntoro Mangkusubroto (Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan/UKP4).
McNeely mengatakan, pendanaan global persiapan pelaksanaan REDD+ tahun 2010-2012 sekitar 1 miliar dollar AS. Di Indonesia, proses pendanaan persiapan REDD+ dilakukan Norwegia sekitar 30 juta dollar AS dari komitmen 1 miliar dollar AS hingga pelaksanaannya.
Pada tahap pembayaran REDD+ diperkirakan butuh investasi 30 juta dollar AS per tahun. Itu untuk pembayaran berbasis kinerja REDD+ mulai 2020 dan seterusnya. Kebutuhan pembiayaan ini tantangan terbesar bagi REDD+.
Selain menyerukan potensi peran swasta dan investasi publik sebagai dukungan terhadap REDD+, pendanaan juga diusulkan lewat sumber-sumber keuangan negara yang menyubsidi bahan bakar fosil. ”Mengalihkan subsidi ini salah satu solusi pendanaan REDD+,” ujarnya.
Sementara itu, Emil Salim mengatakan, REDD+ merupakan era baru pembangunan ekonomi hijau. Dibutuhkan kreativitas, pembenahan regulasi, dan dukungan kebijakan fiskal.
Menurut Kuntoro, perjalanan REDD+ di Indonesia tak perlu menunggu kesiapan global. REDD+ turut membenahi isu dan kebijakan pemerintah di sektor kehutanan dan sektor lain. ”Ekonomi eksploitasi seharusnya berakhir,” ujarnya. (ICH)

JAKARTA, KOMPAS — Laporan baru International Resource Panel memberikan jalan masuk REDD+ sebagai bagian dari pendekatan ekonomi hijau. Program penurunan emisi lewat deforestasi dan degradasi hutan itu memberikan peluang negara-negara pemilik hutan memilih jalur pembangunan berkelanjutan melalui konservasi, restorasi, dan pengelolaan hutan lestari.Hutan menopang 1,6 miliar orang, sedangkan nilai jasa ekosistem hutan tropis senilai 6.120 dollar AS per hektar per tahun. Namun, deforestasi berupa hilangnya hutan-hutan tropis masih terus terjadi yang pada periode 2000-2010 mencapai 13 juta hektar per tahun (data FAO).

”Hutan tropis menyerap setengah jumlah karbon di atmosfer. Namun, tak hanya itu, hutan juga sumber kehidupan manusia,” kata Jeff McNeely, anggota International Resources Panel (IRP) yang juga penulis utama laporan ”Membangun Modal Alam: Bagaimana REDD+ dapat Mendukung Ekonomi Hijau”, Jumat (21/3), di Jakarta.

Peluncuran laporan atas sponsor Program PBB untuk Lingkungan (UNEP) itu menghadirkan penanggap Peter Holmgren (Direktur Jenderal Lembaga Internasional Penelitian Kehutanan/CIFOR), Emil Salim (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden), dan Kuntoro Mangkusubroto (Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan/UKP4).

McNeely mengatakan, pendanaan global persiapan pelaksanaan REDD+ tahun 2010-2012 sekitar 1 miliar dollar AS. Di Indonesia, proses pendanaan persiapan REDD+ dilakukan Norwegia sekitar 30 juta dollar AS dari komitmen 1 miliar dollar AS hingga pelaksanaannya.

Pada tahap pembayaran REDD+ diperkirakan butuh investasi 30 juta dollar AS per tahun. Itu untuk pembayaran berbasis kinerja REDD+ mulai 2020 dan seterusnya. Kebutuhan pembiayaan ini tantangan terbesar bagi REDD+.

Selain menyerukan potensi peran swasta dan investasi publik sebagai dukungan terhadap REDD+, pendanaan juga diusulkan lewat sumber-sumber keuangan negara yang menyubsidi bahan bakar fosil. ”Mengalihkan subsidi ini salah satu solusi pendanaan REDD+,” ujarnya.

Sementara itu, Emil Salim mengatakan, REDD+ merupakan era baru pembangunan ekonomi hijau. Dibutuhkan kreativitas, pembenahan regulasi, dan dukungan kebijakan fiskal.

Menurut Kuntoro, perjalanan REDD+ di Indonesia tak perlu menunggu kesiapan global. REDD+ turut membenahi isu dan kebijakan pemerintah di sektor kehutanan dan sektor lain. ”Ekonomi eksploitasi seharusnya berakhir,” ujarnya. (ICH)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005597056