KERJA mereka seperti counter-hegemony dari definisi politik di ruang publik. Bagi banyak perempuan dari pojok-pojok desa di timur Indonesia itu, kerja politik adalah segala urusan hidup sehari-hari.Tuturan warga dusun dari empat provinsi dalam penutupan Program Access Tahap II di Jakarta, beberapa waktu lalu, telah mematahkan imaji tentang politik ”tinggi” di Senayan. Hal sama diperlihatkan dalam pertemuan 500 orang anggota komunitas Perempuan Kepala Rumah Tangga (Pekka) dari 19 provinsi, beberapa bulan lalu.
Mendengarkan mereka, semakin jelas, betapapun jalan ke luar lebih mungkin ditemukan oleh orang-orang yang setiap hari menggeluti persoalan, dalam konteks situasi yang beragam dari struktur terbawah kewilayahan.
”Karena mereka mengalami ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Yanti Jacob, pegiat Pusat Pemberdayaan Warga (CRC), Kabupaten Sumba Timur.
Warga hanya membutuhkan dibukakan jalan, bukan dijejali uang. CRC yang terbentuk di enam desa sangat disegani di Kabupaten Sumba Timur, misalnya, dimulai dengan sosialisasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik oleh Indonesian Corruption Watch dan Stimulant Institute, mitra Access di Sumba Timur.
Kini CRC—yang dibentuk karena komplain pribadi terhadap pelayanan publik tidak efektif—menjadi kelompok yang disegani lembaga-lembaga pelayanan publik setempat karena advokasinya didasari dengan data komplain yang lengkap dan menguasai semua UU terkait. CRC dimotori oleh pengurus RT, kader posyandu, dan warga yang terlibat dalam banyak kegiatan di kelurahan dan desa.
Access (Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme) adalah program kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia tahun 2002-2013. Tujuannya meningkatkan partisipasi dan peran aktif masyarakat desa di Indonesia Timur dalam upaya meningkatkan pelayanan publik yang lebih responsif.
Program itu bekerja di 1.118 desa di empat provinsi melibatkan 14 mitra organisasi masyarakat sipil di tingkat nasional dan 125 mitra lokal, dengan 3.459 kelompok warga dan 16.344 penerima manfaat langsung.
Agen perubahanPara aktor perubahan yang difasilitasi Acces, 61 persen adalah perempuan. Mereka mengalami click of consciousness, begitu dibuka kesadarannya sebagai warga negara.
Setelah itu, partisipasi aktif menjadi kebutuhan. Adat digunakan untuk mendukung keberdayaan mereka untuk mendobrak segala hal yang memenjarakan mereka dalam kebodohan, ketertinggalan dan kemiskinan. Mereka menolak politik atas nama dengan berdiri tegak untuk mengubah nasibnya.
Seperti dilakukan Rafiqoh (48), aktivis Posyandu, pengajar PAUD yang sambil berjualan kerupuk, memprakarsai ojek perempuan di Dusun Babie Daye, Desa Mekar Damai, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah.
Ibu tiga anak itu tergugah oleh tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi di desanya. ”Dusun kami sangat kuat aturan agamanya. Perempuan hanya boleh dibonceng oleh laki-laki muhrim atau keluarga terdekat. Dari 10 ibu hamil yang ditanya kenapa tak mau ke puskesmas, jawabnya tak ada yang mengantar,” katanya.
Di dusun itu, tubuh perempuan dikuasai oleh suami dan ibu mertua. ”Ibaratnya, istri meregang nyawa, mau melahirkan, kalau suami belum mengangguk, belum dibawa ke rumah sakit,” lanjutnya. ”Suami yang jadi TKI di Malaysia harus telepon ibunya di Lombok untuk memastikan saat yang tepat istrinya dibawa ke rumah sakit.”
Setelah dua tahun mengaktifkan ojek perempuan, 85 persen perempuan hamil di dusun itu sudah ke puskesmas. Rofiqoh juga mengurus akta kelahiran, menggerakkan kegiatan ekonomi perempuan, dan mulai bekerja untuk perbaikan gizi ibu dan anak.
Rofiqoh hanya satu dari ribuan perempuan di lapis terbawah yang menyalakan lilin di kegelapan nasib.
Membalik nasibTerbukanya kesadaran mampu membalikkan nasib perempuan, dari obyek yang dilemahkan karena negara absen dari banyak persoalan warganya, menjadi subyek yang berjuang dan memenangi kehidupan.
”Di ranah itulah Program Pekka bekerja,” ujar Nani Zulminarni, Koordinator Nasional Pekka.
Bekerja sejak tahun 2001, kini 25.000 komunitas Pekka di 19 provinsi, terorganisasi pada lebih 1.150 organisasi basis di 45 kabupaten, berhasil menyelesaikan urusan serius perempuan dan anak, terutama identitas-identitas hukum, seperti perkawinan tak tercatat, perceraian sewenang-wenang, akta kelahiran, kekerasan dalam rumah tangga, dan menggerakkan ekonomi perempuan.
Komunitas itu membangun pusat rumah aman untuk korban KDRT dan rumah singgah untuk perempuan hendak melahirkan supaya lebih mudah dibawa ke pusat layanan kesehatan. ”Masyarakat lebih memilih dibantu Pekka yang tidak memungut bayaran,” ujar Nani.
Komunitas Pekka telah membumikan politik dari ranah domestik dan menghubungkannya dengan politik di ranah publik, the personal is political. Mereka disegani karena melek hukum dan punya kapasitas mengawasi kegiatan di ruang publik. Karena memahami proses yang sedang berlangsung, mereka menghidupi perjuangan di dunia politik, yakni politik sehari-hari yang membumi.
Penguatan keberdayaan membuat kesadaran politik semakin tinggi. Masyarakat desa, yang dulu dipandang sebelah mata kini menjadi kekuatan riil yang harus dipertimbangkan. Sayangnya, keberdayaan mereka tak dibarengi kesiapan banyak pejabat publik.
Stigma tentang masyarakat desa yang bodoh, membuat forum diskusi dengan masyarakat bawah tak jarang diwarnai ketegangan. ”Sikap mereka masih seperti borjuis,” ujar budayawan Radhar Panca Dahana.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005524118
-
- Log in to post comments
- 95 reads