JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan hutan di Indonesia jauh dari ideal dan butuh perbaikan. Publik pun diharapkan menggunakan hak pilihnya dengan baik untuk memastikan isu kehutanan tergarap baik pada pemerintahan mendatang.”Mari pilih wakil rakyat dan eksekutif yang tak membuat hutan mati, tetapi berkelanjutan. Calon-calon anggota legislatif nantinya harus bisa mengarahkan substansi dengan benar,” kata Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo, di Jakarta, Senin (10/3), pada seminar nasional ”Melestarikan Hutan Kita Melalui Pemilu 2014”.
Seminar yang digelar Yayasan Perspektif Baru dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia itu juga menghadirkan Abetnego Tarigan (Walhi), Martua Sirait (Dewan Kehutanan Nasional), Rakhmat Hidayat (Komunitas Konservasi Indonesia Warsi), dan Emerson Yuntho (ICW), serta moderator Wimar Witoelar.
Heru menunjukkan produk legislasi yang mandek di DPR. Beberapa di antaranya, Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, RUU Pertanahan, dan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam. ”RUU ini tak akan selesai dalam periode ini,” ujarnya. Selain perundangan ini, juga masih ada amanat merevisi UU No 41/1999 tentang Kehutanan dan merevisi UU No 18/2004 tentang Perkebunan.
Di lapangan, kata Heru, pengelolaan hutan masih karut- marut. Masyarakat adat tersisih dari tempat hidupnya di tengah hutan. Status kawasan hutan dan bukan hutan juga tidak akurat.
”Kita terlalu lama mengeksploitasi hutan karena hutan terlalu kaya. Tapi, eksploitasi tidak berkelanjutan. REDD+ hadir bukan hanya ngomong emisi, melainkan beyond carbon. Masyarakat harus jadi perhatian utama juga kekayaan hayati dan jasa ekosistemnya,” kata dia.
Rentan konflikMartua Sirait menyebutkan, permasalahan di hutan disebabkan tata batas atau pengukuhan kawasan hutan yang tak kunjung selesai. Tata batas kawasan hutan seluas 120 juta hektar baru selesai 12 persen.
Akibatnya, rentan berbagai konflik dan tumpang tindih perizinan serta rentan penyelewengan. Setahun lalu, 11 Maret 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengoordinasikan penyusunan nota kesepakatan bersama 12 lintas kementerian atau lembaga untuk mempercepat pengukuhan kawasan hutan.
Sorotan lain, pada ketimpangan penguasaan pengelolaan kawasan hutan. Sirait yang juga peneliti ICRAF menyebutkan, 531 pemilik konsesi hutan menguasai 35,8 juta hektar hutan. Sementara, 57 izin hutan kemasyarakatan, hutan desa, dan hutan tanaman rakyat hanya menguasai 0,32 juta hektar hutan.
”Kondisi ini sangat berbahaya dan rentan sosial,” ujarnya. Idealnya, sekitar 30.000 desa dan masyarakat adat di sekitar hutan, sedikitnya mengelola 60 juta hektar hutan. Ia juga mendorong pemerintahan baru menyelesaikan pengukuhan kawasan hutan, penyelesaian konflik, dan perluasan wilayah kelola masyarakat secara simultan.
Namun, harapan ini dibayangi kekhawatiran minimnya perhatian caleg akan isu lingkungan, termasuk isu kehutanan. Studi Walhi pada 6.607 calon anggota DPR 2014-2019 menunjukkan, hanya 7 persen di antaranya yang berintegritas, kompeten, dan terindikasi peduli isu lingkungan (Kompas, 7/3). (ICH)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005374826
-
- Log in to post comments
- 48 reads