Zaenul
Mengubah Nasib Lewat Hortikultura
Oleh: KHAERUL ANWAR
”MAU jadi petani yang cepat kaya, tetapi juga bisa cepat miskin, maka tanamlah cabai dan tembakau,” ujar Zaenul. Pasalnya, seakan sudah menjadi hukum pasar bahwa saat panenan sedikit, harga cabai dan daun tembakau bisa sangat mahal dan keuntungan pun menghampiri petani. Akan tetapi, kondisi sebaliknya juga bisa terjadi. Ketika petani tengah panen raya, dua komoditas hortikultura tersebut harganya bisa anjlok dan membuat petani buntung.
”Itulah ’tiket’ petani yang menanam cabai dan tembakau. Mereka bisa cepat menjadi kaya, tetapi juga bisa miskin,” kata Zaenul, pria berusia 48 tahun ini, sambil tertawa.
Meskipun begitu, Zaenul, warga Dusun Terutuk, Desa Wanasaba, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, tetap lebih memilih budidaya cabai, tomat, kubis, kol kembang, terung, dan kacang panjang, ketimbang bercocok tanam tembakau.
Alasan dia, ”Serugi-ruginya petani menanam cabai, tomat, dan tanaman hortikultura yang lain, hasilnya masih bisa dimakan dan dijual walaupun dengan harga yang sangat murah. Namun, kalau petani menanam tembakau dan daun tembakau itu tidak laku di pasaran, ya, hasil tanaman kami itu tidak bisa dimakan.”
Luas sawah yang dikelola Zaenul sekitar 1 hektar (ha). Dari luas areal itu, sekitar 62 are (1 are = 100 meter persegi) di antaranya dia tanami padi. Sementara terung ungu menempati areal sekitar 13 are yang ditanam tumpang sari dengan cabai rawit.
Di samping itu, masih ada dua petak lahan persemaian masing-masing seluas 5 are untuk persemaian benih tanaman hibrida seperti tomat, cabai, kubis, semangka, pepaya, dan mentimun. Di pematang sawah miliknya juga ditanami kacang panjang yang hasilnya lebih untuk memenuhi kebutuhan sayur-mayur keluarga.
Tahun 2004, ia bertanam tomat di lahan seluas sekitar 15 are. Dari tanaman ini, dia bisa memetik sebanyak sekitar 4-6 kilogram tomat per pohon. Waktu itu harga pasaran tomat sekitar Rp 1.500-Rp 2.000 per kg. Alhasil, Zaenul memperoleh penghasilan kotor Rp 19,7 juta.
Setelah dipotong biaya produksi, dia mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 10 juta. Hasil ini lebih baik dibandingkankan dengan dua kali musim tanam sebelumnya. Ketika itu Zaenul menanam tomat di lahan seluas 13 are. Namun, saat panen, harga tomat justru anjlok Rp 10.000 per keranjang. Satu keranjang tomat setara dengan 40-45 kg. Dia menderita kerugian.
Tidak kapok
Namun, Zaenul tidak kapok karena dia tahu harga tanaman hortikultura sangat fluktuatif. Di sini kemungkinan petani mendapat keuntungan dan kerugian sama besarnya.
Dalam penghitungan dia, bertanam padi dan jagung atau komoditas pangan lainnya memerlukan lahan relatif luas dan hanya sekali panen. Sementara tanaman hortikultura relatif tak memerlukan lahan luas dan bisa dipanen berkali-kali. Nilai jual hasil hortikultura pun relatif bagus.
”Selama sekitar 16 tahun, saya menanam padi dan jagung. Hasilnya, kami cuma bisa membeli baju sekali saja, yakni setiap mau Lebaran,” ujarnya menggambarkan hasil petani dari tanaman pangan.
Oleh karena itu, Zaenul kemudian mencoba peruntungan lewat bertanam hortikultura sejak 2002. Areal sawahnya dia bagi menjadi petak-petak untuk ditanami tomat, cabai, dan berbagai tanaman sayur-mayur.
Dia juga memperkirakan kemungkinan cuaca untuk disesuaikan dengan pilihan komoditas yang tepat untuk tanaman agar saat panen mendapatkan harga yang baik.
Keberuntungan menghampiri dia, misalnya, pada 2011 ketika menanam 3.000 batang tomat hibrida di area seluas 35 are. Hasilnya, dia mengantongi keuntungan sekitar Rp 45 juta. Dari hasil itulah, dia bersama sang istri, Solatiah, bisa menunaikan ibadah umrah pada 2012.
Pionir
Keberhasilan itu diraih Zaenul lewat proses panjang. Bahkan, dia pernah bangkrut. Pada 2002, saat menjadi ketua kelompok tani, dia berjualan sarana produksi pertanian, seperti benih tanaman, pupuk, dan obat-obatan, untuk membantu kebutuhan anggotanya.
Sarana produksi pertanian biasa dibayar setelah panen, tetapi yang terjadi kebanyakan petani tak melunasi utangnya. Hal itu karena benih, pupuk, dan obat-obatan dianggap bantuan gratis dari pemerintah. Padahal, usaha sarana produksi pertanian itu dibelinya dengan modal sendiri sebanyak Rp 30 juta.
Walhasil, anak ketiga dari empat bersaudara pasangan H Humaidi dan Hj Siti Ainun ini terpaksa meminjam uang Rp 50 juta dari bank. Dari jumlah itu, Rp 30 juta di antaranya untuk melunasi utang atas sawah yang dia gadaikan. Sisa pinjaman dia pakai sebagai modal usaha tani dan persemaian benih. Bisnisnya kian mantap dari dua bidang usaha ini.
Boleh dibilang Zaenul menjadi salah satu pionir bertanam tomat, cabai, dan tanaman hortikultura lainnya di Kecamatan Wanasaba, di tengah banyak petani yang terobsesi dengan hasil tanaman bawang merah.
Dia ingin mengubah kebiasaan sebagian petani dengan cara belajar bertani secara lebih modern. Misalnya dengan menggunakan mulsa (plastik) sebagai penutup permukaan petak tanah yang ditanami benih.
Dia terbuka terhadap kritik dan saran orang lain. Zaenul juga berusaha membuka wawasan petani untuk melakukan diversifikasi komoditas. Dia pun membekali diri dengan manajemen usaha tani. Upaya itu dia lakukan untuk memberi contoh dan pemahaman kepada petani lain. ”Ketika saya menanam tomat, banyak yang bilang, tidak ada petani bisa naik haji (kaya) dari hasil menjual tomat,” kata dia.
Benih
Dalam perjalanannya, permintaan benih semakin banyak karena petani umumnya malas menyemai benih sendiri. Kondisi ini dia manfaatkan untuk membuka usaha benih hortikultura.
Usaha itu berkembang, apalagi petani di Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan beberapa kecamatan di Kabupaten Sumbawa datang memesan benih dan membeli produk hortikulturanya untuk dijual ke pasar-pasar.
Melihat keberhasilan Zaenul, petani yang semula apriori, kini meniru apa yang dia lakukan. Kini, ada tujuh warga desanya yang membuka usaha persemaian.
Tentang omzet, dia enggan mengungkapkan. Akan tetapi, bisa dilihat dari dua kebun persemaian yang masing-masing luasnya 5 are dan diberi atap permanen dengan biaya pembangunan sekitar Rp 50 juta.
Dari lahan persemaian itu dihasilkan 576.000 batang benih hortikultura untuk menyuplai kebutuhan petani dalam sebulan. Zaenul pun dapat merekrut 15 pekerja yang membantunya di persemaian.
—————————————————————————
Zaenul
♦ Lahir: Desa Wanasaba, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, tahun 1966
♦ Istri: Solatiah (44)
♦ Anak:
- Aulia Rosita
- M Saleh Kaspul
- Ismail Adam
♦ Pendidikan:
- SD Negeri 2 Wanasaba, lulus 1979
- SMP Negeri 2 Narmada, Lombok Barat, tamat 1982
- SMA Negeri I Mataram, hingga kelas II, 1984/1985
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005302126
-
- Log in to post comments
- 4448 reads