Tanah Air
Kesejahteraan dari Harmoni Laut-Darat
Oleh: Kornelis Kewa Ama
”RERA Wulan tanah ekan beso teka utan. Kaka ari, edo bereo, opulake beso teka utan. Ipetai wewa wau beso teka utan. Nakam nebe beso teka utan”. Artinya, Tuhan penguasa langit dan bumi datang makan kacang. Kakak adik, sahabat kenalan, paman dan ipar datang berpesta. Gigi kotor dan mulut berbau (pembohong dan penipu) datang berpesta. Setan dan kepala setan datang makan kacang.
Itulah penggalan doa adat yang diucapkan oleh ketua adat Kayus Wulo Tolok sebelum perjamuan makan malam utan werun, digelar. Semua hadirin yang duduk bersila di rumah panggung dalam suasana hening pun dan serentak menjawab, ”Hie”.
Sekitar 500 hadirin yang semua laki-laki itu duduk mengelilingi makanan berupa ikan asin bakar, nasi merah, pisang bakar, dan kacang rebus. Makanan dari darat harus berpadu dengan hasil tangkapan dari laut, simbol keharmonisan hidup masyarakat Lembata.
Laut tidak lebih penting dari daratan atau sebaliknya. Keduanya saling melengkapi, dan membutuhkan. Ikan, garam, dan kapur (sirih) bersumber dari laut. Padi, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan dari darat. Kedua wilayah ini sebagai lumbung pangan masyarakat Lewotolok di lereng Gunung Ile Ape, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat memercayai, Ile Ape sebagai tempat tinggal para leluhur mengatur keharmonisan pangan tersebut bagi mereka.
Pisang mendapat perhatian khusus di pesta utan werun. Posisi sentral pisang dalam upacara itu, antara lain, adalah karena ada keyakinan di masyarakat bahwa seseorang sebelum mengonsumsi nasi dan jagung, dia mengonsumsi pisang masak yang diparut halus ketika bayi.
Sebelum ritual puncak digelar, pisang digantung hampir di setiap loteng rumah adat. Pisang lalu dibakar dengan api alam yang dibuat pada malam puncak ritual. Semua peserta wajib makan pisang bakar itu karena pisang menyediakan air (batang pisang), sekaligus makanan simbol keharmonisan laut dan darat itu.
Seusai puncak pesta utan werun, para tetua adat membawakan sesajen kepada leluhur yang mendiami dan mengatur kesuburan di darat. Upacara ini dibawakan dalam suasana gembira, diikuti semua kaum laki-laki. Setelah itu, upacara dilanjutkan dengan memberikan sesajen kepada leluhur yang diyakini mendiami lautan, yang disebut harin botan.
”Ketika terjadi kurang perhatian antara salah satu wilayah, yakni laut atau darat, tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan, mereka bisa mengamuk dan membunuh manusia yang menghuni. Laut bisa melahirkan gelombang tinggi dan menenggelamkan nelayan, daratan bisa menghilangkan manusia dan hasil pertanian melalui tanah longsor atau gempa bumi,” kata Wulo.
Menghormati lingkungan
Secara universal keharmonisan kosmos dengan sendirinya menyediakan hasil bagi manusia. Alam dengan sendirinya menyediakan semua kebutuhan itu. Keharmonisan itu perlu dijaga sebagai sumber kehidupan. Dengan menghormati dan menghargai lingkungan (darat dan laut), dengan sendirinya alam semesta memberikan kehidupan kepada mereka.
Ritual utan werun sebagai perjanjian, syukur, dan tobat terkait keharmonisan itu. Semua peserta ritual harus ikhlas, tulus, dan jujur. Karena itu, jika masih ada dendam antara mereka, diupayakan saling memaafkan sehingga leluhur pun berbalik dan berbuat bagi kepada mereka.
Hingga tahun 1960-an, makanan begitu mudah ditemukan di hutan, ladang, dan laut. Warga Lewotolok atau Ile Ape tidak kesulitan mendapatkan makanan. Namun, memasuki tahun 1970-an perlahan-lahan makanan makin sulit ditemukan karena penduduk bertambah dan rasa hormat terhadap alam dan lingkungan menyusut.
Warga pun harus memiliki stok makanan khusus di rumah masing-masing. Tempat paling aman untuk menyimpan makanan adalah bambu petung. Beras, padi, jagung, dan kacang-kacangan disimpan di bambu selama 1-2 pekan sebelum dikonsumsi. Setelah simpanan makanan habis, mereka pergi mengambil lagi di ladang untuk disimpan lagi.
Memasuki pertengahan 1970-an dibangun rumah khusus berbentuk panggung untuk menyimpan bahan pangan, yang disebut lumbung pangan. Setiap kepala keluarga memiliki lumbung pangan. Stok pangan yang disimpan di lumbung ini biasanya bertahan satu tahun.
Karena setiap keluarga beranggotakan 5-15 orang dan memiliki satu suku, lumbung itu menjadi milik suku. Lumbung pangan sering dibangun berdampingan dengan rumah adat. Kadang, tiga keluarga memiliki satu suku, satu lumbung.
Bagi masyarakat pesisir, setiap keluarga memiliki satu perahu sebagai simbol lumbung pangan. Pembuatan perahu ini diawali dengan ritual adat. Perahu kemudian digiring beramai-ramai oleh suku itu ke laut setelah dilakukan ritual khusus.
Kegiatan melaut, bercocok tanam, menyadap, menenun, membangun rumah, beternak, persiapan sekolah, perkawinan, dan persiapan merantau diawali dengan ritual adat. Ritual itu sebagai pembersihan alam semesta agar bebas dari kecelakaan, kegagalan, dan penderitaan terutama kelaparan.
Semua itu terjaga karena ada keyakinan, leluhur dan nenek moyang berdiam di puncak Ile Ape, dan menyaksikan semua tingkah laku manusia di sekitar gunung. Mereka adalah turunan dari gunung itu atau disebut ana ata ile jadi, artinya manusia yang dilahirkan dari gunung.
Keharmonisan dengan gunung pun tetap terjaga dengan tidak membakar atau membabat hutan di sekitar gunung. Jika ada warga yang membuka hutan di lereng gunung, harus mendapat restu dari leluhur yang mendiami gunung itu lewat upacara tertentu.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000003691623
-
- Log in to post comments
- 287 reads