BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Inkulturasi Agama Universal dengan Tradisi Lokal

tanah air
Inkulturasi Agama Universal dengan Tradisi Lokal

SEBUAH arca perempuan dengan ketinggian hampir 3 meter dan lebar terjauh sekitar 1 meter berbalut kain biru tua diarak ribuan peziarah dari Kapel Tuan Ma menuju Gereja Katedral Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/4). Arca tua itu simbol perpaduan agama universal dengan tradisi lokal. Inkulturasi mengokohkan kehidupan toleransi umat beragama di Nusa Tenggara Timur.

Mahkota di kepala arca tua itu bertuliskan ”Mater Dolorosa”, Bunda Berdukacita. Patung itu tersimpan di Kapel Santa Maria Tuan Ma yang hanya dibuka dan ditutup Raja Larantuka Ama Koten atau disebut Don Viera d’Godinyo.

Semana Santa pertama digelar April 1599. Umat Katolik di Larantuka berhasil bebas dari musuh meski sejumlah wilayah di sekitarnya dihancurkan, seperti Benteng Lohayong di Pulau Solor, sekitar 20 mil (32 kilometer) dari Larantuka.

Saat mereka berdoa, dan mati raga, muncul seorang perempuan berwajah Yahudi di tepi pantai Larantuka yang berbicara dengan seorang gadis desa bernama Resi Ona. Namun, saat dikerumuni warga, perempuan itu berubah rupa menjadi arca. Warga setempat menyebut patung itu ”Tuan Ma”, Santa Maria.

Permenungan kisah sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus 2.000 tahun silam itu dihayati selama tujuh hari dan mencapai puncak pada Jumat Agung, yang berakhir dengan Minggu Paskah. Tujuh hari perkabungan itu disebut Semana Santa, tujuh hari suci, hari berahmat.

Orang Larantuka menyebut Semana Santa dengan istilah Hari Bae, artinya hari ’berahmat’. Kata ”bae” jadi idaman warga semua agama di kota itu.

Prosesi dibagi dua, yakni prosesi laut dilakukan siang hari dengan mengarak arca Tuan Meninu, Yesus, dan prosesi darat pada malam hari, mengarak patung Tuan Ma atau Bunda Maria. Prosesi malam hari sebagai puncak dari rangkaian prosesi Jumat Agung. Setiap peziarah dengan lilin di tangan mengitari tempat-tempat bersejarah (religius) di kota itu sambil berdoa dan bernyanyi.

Kata ”Larantuka”, bahasa Lamaholot, berarti ’jalan tengah’, tempat berhimpun suku-suku dari seluruh pelosok negeri. Pemeluk semua agama berdiam secara damai di kota ini. ”Persaudaraan dan kekeluargaan lintas agama terbentuk di sini. Kami berakar pada agama dan tradisi leluhur yang kami yakini satu nenek moyang. Dasar kami adalah tradisi leluhur, kemudian masuk agama universal, seperti Katolik, Islam, dan Hindu. Agama universal ini berinkulturasi di dalam agama lokal,” kata Ama Koten.

Selama Semana Santa, umat lintas agama di kota ini bertanggung jawab menjaga keamanan. Biasanya remaja masjid, Muslim Lamaholot, serta remaja Hindu dan Buddha mengawal serta mengamankan proses liturgis peninggalan Portugal di kota ini.

Sebaliknya, saat Idul Fitri, kaum muda Kristen menjaga keamanan dan ketertiban di kota itu. Mereka saling melengkapi dan membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Tokoh masyarakat Muslim Larantuka, Abdul Razak, mengatakan, dalam hal perkawinan beda agama, sudah menjadi tradisi peninggalan leluhur Kristen dan Islam di kota itu, perempuan Muslim wajib meninggalkan agamanya dan masuk Kristen kalau menikah dengan lelaki Kristen. Sebaliknya, perempuan Kristen dengan sendirinya meninggalkan agamanya dan ikut suami yang beragama Islam.

”Tradisi ini tak diatur khusus, tetapi jadi peninggalan leluhur dan ditaati dari generasi ke generasi. Kami punya nenek moyang yang sama, tapi kemudian masuk Portugis menyebarkan agama Katolik, kemudian Gujarat, Persia, dengan agama Islam. Akar kami satu, yakni adat dan tradisi leluhur,” kata Razak.

Peziarah asal Jakarta, Mery, mengaku sudah dua kali mengikuti prosesi itu. Dia sangat bangga akan kerukunan umat beragama di daerah itu. ”Tadi saat buka pintu Kapel Tuan Ma, ada doa adat disampaikan Raja Larantuka kepada leluhur. Ternyata budaya lokal sangat membantu masyarakat menemukan jati diri mereka,” katanya. (KORNELIS KEWA AMA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006151846