Pemerintahan Terbuka
Demokrasi Tanpa Sekat ala Kang Yoto
Tiga tahun lalu, Indonesia bersama tujuh negara menginisiasi Kemitraan untuk Pemerintahan Terbuka (OGP), gerakan global untuk mendorong pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan responsif terhadap warganya. Dari hanya delapan negara, gerakan ini meluas hingga beranggotakan 64 negara.
Tahun ini, Indonesia menjadi Ketua OGP dan tuan rumah Konferensi OGP Asia Pasifik, 4-7 Mei 2014, di Nusa Dua, Bali. Pertanyaan yang muncul, apa benar Indonesia selaku salah satu inisiator dan Ketua OGP sudah melaksanakan prinsip
pemerintahan terbuka?
Meski masih sangat terbatas, harus diakui adanya sejumlah inisiatif dari pusat untuk melaksanakan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, dan responsif. Sebut saja inisiatif ”Lapor!” dan ”Solusimu” yang digulirkan Unit Kerja Presiden Bidang Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan (UKP4). Melalui sistem ”Lapor!” dan ”Solusimu” itu, rakyat dapat menyampaikan persoalan atau masukan terkait pembangunan serta dapat mengikuti sejauh mana respons instansi terkait atas aspirasi itu.
Di luar pusat, sejumlah daerah juga punya inisiatif untuk membangun pemerintahan yang terbuka. Sebut saja DKI Jakarta dengan transparansi anggarannya serta Bandung dan Surabaya dalam pelibatan warganya menata kota.
Selain kota-kota besar itu, ada inisiatif dialog publik yang rutin diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, setiap pekan pada Jumat siang. Bahkan, dialog publik itu mampu mencuri perhatian UKP4 sehingga dipilih menjadi salah satu pengalaman yang dibagikan kepada peserta konferensi OGP di Bali.
Rakyat bebas bersuara
Dialog publik di Bojonegoro yang diinisiasi Bupati Bojonegoro Suyoto sebenarnya dimulai sejak periode pertama jabatannya tahun 2008. Format dialognya sangat sederhana. Tiap selesai shalat Jumat, bupati yang akrab dipanggil Kang Yoto itu membuka ruang dialog di pendapa rumah dinasnya.
Warga Bojonegoro, siapa pun, boleh hadir dan tak ada pembatasan. Untuk hadir tak perlu undangan, apalagi pengerahan massa, Mereka boleh bebas menyampaikan aspirasi secara terbuka dan itu disiarkan secara langsung lewat radio setempat tanpa disensor. Rata-rata yang hadir tiap dialog 500 orang.
Dalam dialog itu, Kang Yoto yang mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik meladeni setiap pertanyaan, keluhan, ataupun masukan warga. Jika ada keluhan dari petani, misalnya, ia langsung mengonfirmasi kepada dinas pertanian dan menginstruksikan solusinya. Jadi, intinya, setiap persoalan wajib direspons saat itu dengan solusi konkret dari jajaran birokrasi Bojonegoro. Tak jarang usulan pembangunan pun muncul.
Salah satu yang unik dari dialog adalah munculnya sosok Kusnan (53), warga Desa Klepek, Kecamatan Sukosewu, Bojonegoro. Sejak dialog publik itu digelar, Kusnan tak pernah absen. Kehadiran Kusnan, yang awalnya seorang warga desa miskin karena 15 tahun memelihara ternak orang lain, tetapi kini tergolong sukses dan punya 60 sapi, tidak hanya mewarnai dialog karena kekritisannya. Akan tetapi, ia juga ikut menggugah warga lain untuk berpikiran maju dan bangkit dari kemiskinannya. (C Wahyu Haryo)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006492891
-
- Log in to post comments
- 448 reads