BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

"Dahaga" Petani

PANGAN
"Dahaga" Petani
Ikon konten premium Cetak | 16 Januari 2016 Ikon jumlah hit 81 dibaca Ikon komentar 0 komentar

Awal tahun ini, "dahaga" melanda petani di sejumlah sentra pangan di nusantara. Intensitas hujan yang rendah-sebagai dampak El Nino-menyebabkan lahan-lahan pertanian irigasi, terutama lahan tadah hujan, kekurangan air. Petani terpaksa menambah biaya produksi untuk membuat sumur pantek, menyewa pompa, dan membeli bensin bahan bakar pompa.
didie sw

Upaya itu untuk menyelamatkan padi, sebagai sumber pangan dan hidup petani. Setiap kali panen, petani menyimpan sebagian gabah kering panen (GKP) untuk sumber pangan. Sebagian besar lagi dijual guna membayar utang, sewa lahan, biaya kebutuhan hidup sehari-hari, dan modal tanam pada musim tanam berikutnya.

Namun, justru pada saat petani "dahaga" itulah, harga kebutuhan pokok, terutama beras, tinggi. Petani yang tidak lagi memiliki stok gabah atau beras di rumah, terpaksa membeli beras dengan harga mahal. Bisa jadi, beras itu berasal dari sawah yang diolahnya sendiri. Bisa jadi juga, dia harus membeli beras yang kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan beras yang dihasilkan petani dari lahannya.

Petani yang menjual GKP seharga Rp 4.500 per kilogram (kg) terpaksa membeli beras kelas rendah Rp 8.500-Rp 9.000 per kg. Padahal, harga ideal belas kelas rendah Rp 7.500 per kg. Jika ingin membeli beras kualitas medium, petani harus mengeluarkan uang lebih, yakni Rp 9.500-Rp 10.000 per kg.

Itu baru di pedesaan. Di kota-kota besar, harga beras medium sudah di atas Rp 10.000 per kg. Rata-rata nasional harga beras medium saat ini Rp 10.750 per kg. Harga tersebut jauh di atas harga ideal beras medium, yaitu Rp 8.500 per kg. Adapun harga beras kualitas rendah sudah setara dengan harga beras medium. Tidak hanya petani yang terbebani harga beras, tetapi juga masyarakat miskin di perkotaan.

Harga beras tinggi karena stok yang terbatas. Namun, permintaan beras tetap ada. Musim kemarau panjang Nino mengganggu produksi beras sejak pertengahan tahun lalu sehingga produksi berkurang. Di sisi lain, musim tanam pertama di daerah-daerah sentra pangan yang semula November dan Desember 2015, mundur menjadi Januari 2016. Produksi musim tanam pertama pada tahun ini pun terancam turun karena kekurangan air.

Tidak mengherankan jika harga beras mulai dari petani hingga ke penggilingan cukup tinggi. Di wilayah Cirebon, Jawa Barat, misalnya, harga beras dari penggilingan ke Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, sebesar Rp 10.000 per kg untuk kualitas 1 dan Rp 9.500 per kg untuk kualitas 2. Padahal, sebelumnya, harganya masih di bawah Rp 10.000 per kg.

Penggilingan di daerah tersebut mengambil beras dari bandar-bandar GKP di Kuningan, Jawa Barat, dan Demak, Jawa Tengah, seharga Rp 5.000-Rp 5.500 per kg. Biaya tersebut sudah termasuk biaya transportasi dan biaya lain-lain, yang biasanya berkisar Rp 250-Rp 300 per kg beras.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama 2015, beras menyumbang inflasi 0,31 persen. Inflasi di desa juga lebih tinggi ketimbang inflasi di kota. Selama Januari-Desember 2015, inflasi di desa 4,28 persen dan di kota 3,35 persen. Selama periode tersebut, desa mengalami sembilan bulan inflasi lebih tinggi dan tiga bulan deflasi lebih tipis daripada kota.

Kendati penghasilan petani bertambah tahun ini, penghasilan itu masih belum mampu mengejar kenaikan harga beras. Tidak mengherankan jika nilai tukar petani (NTP) turun 0,11 persen dari 102,95 pada November 2015 menjadi 102,83 pada Desember 2015.

"Dahaga" air di sebagian daerah sentra pangan, terutama di Cirebon, Indramayu, dan Majalengka (Jawa Barat) sudah mendapatkan solusi. Uji coba penggelontoran air Waduk Jatigede pada Selasa lalu memberikan kesegaran tersendiri bagi para petani di sana.

Di sisi lain, "dahaga" petani dan masyarakat miskin akan harga beras yang terjangkau masih belum terselesaikan. Harga pangan utama yang masih tinggi menyebabkan porsi pengeluaran golongan rentan miskin dan miskin meningkat.

Biasanya, sekitar 60-65 persen pendapatan habis untuk konsumsi pangan. Namun, saat ini, meningkat menjadi 70-75 persen dari pendapatan. Jika harga terus merangkak naik, akan berpotensi memicu pergeseran golongan rentan miskin ke miskin. Jangan sampai itu terjadi. (HENDRIYO WIDI)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/16/Dahaga-Petani

Related-Area: