BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Berjaya Kemudian di Tanaman Hortikultura

Tanaman Pangan
Berjaya Kemudian di Tanaman Hortikultura

WAJAH Nasrudin (39) ceria setelah mengantongi Rp 8 juta hasil penjualan 3 kuintal cabai rawit seharga Rp 27.000 per kilogram. Cabai itu ditanamnya secara monokultur di areal seluas 50 are di Desa Pijot, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dalam tiga bulan pertama tahun ini saja, ia sudah tiga kali panen. Setahun dia maksimal bisa 10 kali panen.

”Dua kali tanam tomat, saya KO (knock out, gagal). Sekali tanam cabai, saya game (berhasil),” kata Nasrudin, beberapa waktu lalu, saat ditemui sedang mencari bibit cabai di lahan persemaian milik Ansori, warga Dusun Rungkang, Desa Gelora, Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Dua kali ia menanam tomat secara tumpang sari dengan jagung, tetapi harga tomat anjlok saat panen. Oleh karena itu, petani lulusan Sekolah Menengah Kejuruan Teknologi Pertanian tahun 1993 itu menanam cabai pada 2013.

Lombok Timur adalah salah satu sentra budidaya tanaman hortikultura di NTB dengan lokasi di Kecamatan Sembalun, Suwela, dan Wanasaba. Di wilayah ini areal sawahnya subur, beririgasi teknis, serta bisa ditanami cabai, tomat, terung, sawi, kol, kacang panjang, dan lainnya. Pemilikan lahan sempit, sekitar 30 are per keluarga, memaksa petani di kabupaten ini bertanam hortikultura yang bisa dipetik hasilnya berkali-kali.

Gemar bertanam hortikultura menyebar ke sawah tadah hujan, seperti di Desa Pijot. Di desa produsen garam itu warganya bertanam padi sekali setahun dilanjutkan bertanam palawija, kedelai, dan tembakau. Dari sawah seluas 50 are, Nasrudin bisa mendapatkan 3 ton gabah kering panen. Jika dijual sesuai harga pemerintah, Nasrudin total mendapatkan sekitar Rp 10 juta. Setelah dipotong biaya produksi, yang masuk kantong sekitar Rp 5 juta. Lebih kecil daripada hasil sekali panen cabai.

Hitung-hitungan ekonomi berikut kesiapan mental menerima harga pasar terburuk atau terbaik dari komoditas hortikultura membuat petani tetap bergairah. Pasalnya, dari hasil menjual cabai, tomat, dan sayuran membantu penghasilan harian petani. ”Asalkan tidak rusak, tomat dan cabai bisa dijual meski harganya rendah,” kata Neni Yuliawati, Kepala Seksi Hortikultura Dinas Pertanian dan Peternakan Lombok Timur.

Kegairahan itu digambarkan pula oleh Rosadian Aji Suci, Marketing PT East West Seed Indonesia. Hanya untuk kacang panjang guna memenuhi kebutuhan warga Kota Mataram, NTB, diperlukan sebanyak 5 ton sehari. Permintaan bibit sayur dan buah hibrida di NTB, termasuk cabai dan tomat, sekitar 30 persen ke Lombok Timur.

Produksi dua komoditas itu umumnya untuk kepentingan lokal NTB dan sebagian kecil pedagang pengumpul mengantar-pulaukannya ke Bali dan Jawa. Pedagang pengumpul ini menampung dan memasarkan produk juga memiliki kebun persemaian bibit untuk memenuhi kebutuhan petani.
Hortipark

Upaya petani mengembangkan tanaman hortikultura, seperti cabai, tomat, dan bawang, kecuali sebagai substitusi impor, memenuhi kebutuhan lokal dan menekan inflasi yang umumnya disumbangkan tiga komoditas itu. ”Tahun 2013 terjadi defisit anggaran nasional. Gara-garanya adalah impor buah dan sayur,” imbuh Prayitno Basuki, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram. Ia menambahkan, ”Jika soal hasil, kita bisa bersaing. Tinggal mutu dan kemasan produknya yang dibenahi agar memenuhi standar.”

Stephane Servin, Wakil Ketua Lombok Hotel Association, menambahkan, sebuah hotel di kawasan Senggigi mengalokasikan Rp 4,5 miliar, Rp 3,5 miliar di antaranya untuk membeli makanan, sayuran, dan buah produk luar. Hanya Rp 1 miliar dibelanjakan untuk bahan kuliner dari NTB. Hotel ini bersedia membeli 50 persen lebih mahal daripada harga grosir di pasar lokal ketimbang mendatangkan bahan kuliner dari luar daerah ataupun impor. Bunga segar semacam sedap malam dan mawar serta beberapa jenis jamur juga belum banyak tersedia di NTB.

Perubahan pola pikir petani itu dibaca Pemerintah Provinsi NTB yang ingin melapis produksi pangan dengan tanaman hortikultura. Tahun 2014 disediakan areal seluas 380 hektar untuk Hortipark di Desa Sidemen, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah. Di areal ini dikembangkan tanaman buah Nusantara serta tanaman spesifik lokal guna melestarikan plasma nutfah. Disiapkan pula fasilitas pendukung, seperti rumah kemasan untuk mengemas produk hortikultura dan ikutannya.
Bisa berjaya

Dengan tersedianya fasilitas itu, kian membesarkan harapan petani dan pengusaha berjaya setelah jatuh bangun menekuni usaha hortikultura. Sebutlah Ansori yang semula perajin gerabah dan bangkrut menyusul peristiwa bom Bali. Bermodal tabungan Rp 700.000 tahun 2003, ia dipinjami lahan 10 are yang ditanami tomat sebanyak 1.700 batang. Usahanya gagal karena tomat yang ditanamnya bibit lokal dan harganya murah menyusul panen raya.

Berbekal hasil menjual tomat dan meminjam modal Rp 3,75 juta, ia menyewa lahan 16 are dan ditanami 3.100 batang bibit tomat hibrida. Lulusan Sekolah Pembangunan Pertanian tahun 1998 itu pun urung menjadi buruh migran karena usahanya berhasil. Awal tahun 2005, harga tomat membaik. Kala itu, ia bisa mengantongi Rp 19 juta dari menjual tomat yang dipanen 18 kali setahun. Hasil usahanya itu dipakai untuk melunasi utang sewa lahan dan membeli lahan 7 are untuk persemaian.

Zaenul, warga Dusun Terutuk, Desa Wanasaba, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur, pun mencoba bertanam hortikultura sembari bertindak selaku penyalur serta penjual sarana produksi pertanian, seperti benih tanaman, pupuk, dan obat-obatan. Ia bangkrut karena petani tak membayar sarana produksi yang dianggap bantuan dari pemerintah.

Zaenul pun meminjam uang di bank Rp 50 juta dengan jaminan sawahnya seluas 62 are. Uang itu dipakai untuk menutupi utang dan bertanam hortikultura. Hasilnya, tahun 2005 ia dan istrinya bisa berhaji.
(KHAERUL ANWAR)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005202492