Komitmen Daerah soal Sampah Rendah
Bank Sampah Kurangi Beban TPA
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen daerah memanfaatkan infrastruktur pembuangan sampah ramah lingkungan dinilai rendah. Kementerian Pekerjaan Umum menyediakan 438 tempat pembuangan sampah ramah lingkungan/kesehatan, tetapi pengoperasian sesuai kaidah sehat dan terkontrol baru 10 persen.
”Sanitary atau controlled landfill itu minimal ada pengurukan atau pelapisan tanah dua kali sepekan. Praktiknya, ada yang dua-tiga bulan sekali. Ini praktik tidak benar,” kata Djoko Mursito, Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum, Rabu (19/2), di Jakarta.
Bersama Rasio Ridho Sani, Deputi Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3), Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup), Djoko berbicara dalam media briefing pengelolaan sampah. Tanggal 21 Februari merupakan Hari Peduli Sampah Nasional untuk mengingat longsor sampah di Leuwigajah, Jawa Barat, yang menewaskan 150 jiwa.
Menurut Djoko, sejak 2006 telah dibangun 438 TPA yang memenuhi standar sanitary/controlled landfill. Pihaknya mengusahakan setiap kabupaten/kota mempunyai TPA sendiri. Proyek penyediaan sanitary/controlled landfill ini membutuhkan dana pembangunan Rp 4 miliar-Rp 6 miliar per hektar TPA.
Meski ada infrastruktur, baru 10 persen berfungsi sesuai dengan mekanisme sanitary/controlled landfill. Daerah terkendala kapasitas dan komitmen mengoperasikan. ”Operasional sanitary/controlled landfill butuh dana Rp 80.000 per ton sampah,” kata Djoko. Di Indonesia, rata-rata jumlah timbulan sampah mencapai 200.000 ton per hari atau 73 juta ton per tahun. Asumsinya, setiap orang per hari menghasilkan 0,8 kilogram sampah.
Studi tahun 2008 di beberapa kota, pengelolaan sampah di Indonesia 68 persen diangkut dan ditimbun, 9 persen dikubur, 6 persen diolah jadi kompos dan daur ulang, 5 persen dibakar, serta 7 persen tak terkelola.
Komposisi sampah
Dilihat dari komposisinya, jenis sampah Indonesia 60 persen organik (sisa makanan/tumbuhan), 14 persen plastik, 9 persen kertas, dan sisanya logam, karet, kain, dan kaca. Dari rumah tangga (48 persen), pasar tradisional (24 persen), kawasan komersial (9 persen), sisanya fasilitas publik, sekolah, kantor, dan jalan.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan agar pada 2013 atau lima tahun sejak UU diterbitkan, pemerintah daerah sudah meninggalkan mekanisme penampungan terbuka. Ketidakmampuan itu mencerminkan kegagalan pemerintah mengelola sampah.
Rasio Ridho Sani mengatakan, beban timbulan sampah ini bisa dikurangi, di antaranya melalui penerapan prinsip 3R (reduce, reuse, dan recycle). Penerapannya melalui bank sampah yang telah diaplikasikan di lebih dari 1.000 komunitas masyarakat.
Melalui bank sampah, warga rutin mengirim sampah rumah tangga berupa kaca, plastik, kertas, serta logam lalu dikumpulkan dan dijual sebagai tabungan.
”Bank sampah mengubah perilaku masyarakat agar tak lagi melihat sampah sebagai barang tak berharga, tetapi bermanfaat,” katanya. Konsep 3R itu solusi masa depan material dari alam yang kian mahal. (ICH)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004963492
-
- Log in to post comments
- 54 reads